RADAR JOGJA – Belum semua objek dan destinasi wisata di Jogjakarta ramah disabilitas. Baik itu akses, fasilitas hingga pihak pengelolanya. Alhasil beragam keindahan alam dan potensi wisata tidak bisa dinikmati oleh kaum disabilitas.

Founder Diveable Indonesia Meyra Marianti mengakui masih ada beberapa kekurangan. Dia mencontohkan fasilitas menyelam di beberapa spot menyelam di Indonesia. Meski telah mumpuni, belum semua fasilitas bisa melayani kebutuhan disabilitas.

“Wisata itu idealnya bisa dinikmati oleh siapa pun tanpa adanya keterbatasan. Nah dalam ranah ini memang belum semua objek dan destinasi wisata memenuhi persyaratan ramah disabilitas,” katanya  saat acara “Dive with Deaf”  di kolam renang Hotel Tentrem, kemarin (1/12).

Penyusunan konsep wisata ini selayaknya melibatkan aktif rekan disabilitas. Tujuannya agar seluruh akses, fasilitas dan pelayanan wisata berfungsi optimal. Tak hanya sekadar penghias atau syarat agar objek wisata dinyatakan layak dan ramah.

Hal-hal yang perlu dipikirkan adalah faktor keamanan dan kenyamanan. Sama halnya konsep sapta pesona wisata yang menjadi nyawa dunia pariwisata. Bedanya ada keahlian khusus untuk melayani dan memfasilitasi disabilitas.

“Kalau untuk menyelam ini ada pendamping dan instruktur khusus yang benar-benar ahli. Konsep yang kami usung mengenalkan wisata bawah air untuk teman-teman disabilitas,” ujarnya.

Kepala Dinas Pariwisata DIJ Singgih Raharjo memastikan konsep ramah disabilitas telah ada. Bahkan jajarannya telah menggelar diskusi tematik September lalu. Hanya saja perwujudan konsepnya berlaku secara bertahap. Baik untuk akses, fasilitas dan wujud pelayanannya.

Berdasarkan catatan wisata dunia, angka wisatawan disabilitas mencapai 20 persen. Angka ini setidaknya mampu menjadi acuan menyusun kebijakan. Terutama terkait pelayanan yang optimal dan ideal, sehingga objek wisata bisa dinikmati oleh semua pihak.

“Diawali dari transportasinya, koordinasi dengan Dinas Perhubungan untuk lingkup darat. Lalu juga pengelola bandara, bagaimana fasilitas di sana. Ini karena sebagai pintu masuk ke Jogjakarta,” jelasnya.

Tak cukup dalam tataran internal, pembenahan justru menyasar pengelola wisata. Ini karena pihak-pihak itu yang berhadapan langsung dengan wisatawan. Berlanjut kemudian akses dan fasilitas yang ideal bagi disabilitas.

Di satu sisi Singgih mengakui penerapan ini tak bisa serempak. Terlebih belum semua objek wisata menerapkan konsep ini sejak awal berdiri. Sehingga perlu ada penyesuaian agar seluruh pelayanan bisa berjalan ideal.

“Masih melakukan pendekatan kepada pengelola yang objek wisatanya belum ramah disabilitas. Bertahap dan menyesuaikan dengan kebutuhan teman-teman disabilitas juga. Bisa dibilang wisata Jogjakarta sudah menuju ke sana,” katanya. (dwi/laz)