RADAR JOGJA – Kepala Badan Narkotika Nasional Kota (BNNK) Jogja AKBP Khamdani mengakui tak mudah melakukan pendampingan kepada pecandu narkotika. Terbukti dari belum optimalnya program rehabilitasi secara kualitas. Ini karena pecandu memilih untuk tidak merampungkan program.

Dia mencontohkan program rehabilitasi oleh pemerintah. Dari total delapan kali pertemuan ada yang tak separuh rampung. Alhasil capaian program baru separuh jalan dari ketentuan awal.

“Harusnya datang delapan kali tapi mayoritas cuma jalan setengahnya. Bahkan ada yang datang dua kali saja,” curhatnya saat ditemui di Kantor BNNK Jogja, Senin (23/12).

Fenomena ini tentu menjadi catatan penting bagi BNNK Jogja. Berdasarkan data 2019 realisasi subjek rehabilitasi sebanyak 10 pasien. Jumlah ini sesuai dengan target awal tahun program rehabilitasi.

Sayangnya capaian subjek belum sebanding dengan kualitas. Dari total sepuluh pasien rehabilitasi tidak semuanya rampung hingga tahapan akhir. Padahal optimalisasi program rehabilitasi seharusnya sampai akhir.

“Ini yang menjadi catatan bagi kami. Ke depan akan kami dorong agar program rehabilitasi optimal. Tidak hanya sekadar ikut demi tidak tersangkut pidana,” tegas perwira menengah polisi melati dua ini.

Adanya selisih berdampak pada capaian anggaran 2019. Total anggaran rehabilitasi selama 2019 sebesar Rp. 93.502.000. Sementara realisasi capaian hanya Rp. 65.053.500. Artinya masih ada selisih anggaran sebesar Rp. 32.448.500.

Khamdani mengakui, jajarannya tak memiliki wewenang memaksa. Program rehabilitasi berjalan sesuai kehendak pasien. BNN maupun rumah sakit dan puskesmas tidak memaksa untuk berkomitmen. Alhasil dalam program berjalan ada yang tidak rampung sampai akhir.

“Pengembalian uang ke negara cukup besar. Disatu sisi bukan kewenangan kami untuk memaksa. Apalagi rehabilitasi sejatinya itu sukarela dari pecandu sendiri. Buka  inisiatif dari kami (BNN),” katanya.

BNNK, lanjutnya, memiliki fokus pada upaya preventif. Terbukti dari minimnya aksi pemberantasan penyalahgunaan narkotika. Sebagai catatan, ungkap kasus 2019 mencapai tiga kasus. Sementara untuk 2018, BNNK Jogja hanya berhasil ungkap satu kasus.

Wilayah tertinggi penyalahgunaan narkotika Kota Jogja berada di Brontokusuman Mergangsan. Faktor penyebab adalah tingginya dinamika masyarakat. Selain itu banyaknya karakter penduduk yang datang dari berbagai wilayah.

“Berdasarkan data kompilasi kepolisian dan BNN, sebaran kasus di Kota Jogja mencapai 124 kasus dengan 150 tersangka. Kalau prevelansi sudah keluar 10 besar sejak 2018,” katanya. (dwi/ila)