RADAR JOGJA – Pakar mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan UGM Wahyuni menjawab hipotesa Gunungkidul sebagai daerah langganan antraks. Salah satu indikator utamanya adalah kawasan tanah kapur. Spora bakteri antraks mampu beradaptasi lebih cepat dengan jenis tanah ini.

Temuan ini sendiri berawal dari ketidaksengajaan. Awalnya tim mengambil sampel menggunakan kapas dan sampel yang dibawa dengan membawa tanah kapur. Hasil bakteri yang berada dalam tanah kapur justru hidup dengan nyaman.

 “Jadi saat sampel kami bawa ke laboratorium,spora justru sudah terbentuk dan tumbuh. Sampel yang kami ambil sampel darah hewan ternak. Artinya sampelnya (spora bakteri antraks) lebih nyaman di situ (tanah kapur),” jelasnya, Sabtu (18/1).

Walau begitu dia belum menjamin fakta ini sepenuhnya benar. Perlu ada kajian lebih lanjut untuk mengetahui korelasi masa hidup spora bakteri antraks dengan tanah kapur. Sehingga dapat menjadi langkah antisipasi kedepannya.

“Nah ini mungkin perlu penelitian lebih lanjut lagi. Mungkin ada peluang atau kemungkinan untuk itu (Spora bertahan hidup) bahwa di daerah yang subur akan lebih tahan lama. Itu perlu dibuktikan lebih detail lagi,” ujarnya.

Terkait daya tahan, spora dan bakteri memiliki mekanisme berbeda. Untuk bakteri akan mati dengan pemanasan suhu 56 derajat celcius selama 30 menit. Tapi dalam tahapan ini spora masih bisa bertahan hidup.

Pada fase ini, spora bisa menyebar. Permasalahan timbul karena tak mudah mendeteksi keberadaan spora antraks. Dalam takaran penelitian, spora bisa tumbuh pada suhu 12 sampai 44 derajat celcius. Sementara pertumbuhan maksimal antara 35 hingga 37 derajat celcius.

“Kenyataannya dia bisa tadi sekian tahun di dalam tanah bahkan hingga puluhan tahun,” katanya.

Ancaman ini bisa terbangun sewaktu-waktu. Dalam beberapa kasus, munculnya kasus antraks hampir bersamaan. Timnya mencatat bakteri antraks kerap muncul menjelang atau selama musim penghujan. Hipotesa yang digunakan kemunculan spora bersamaan dengan tumbuhnya rumput.

“Spora pasif selama musim kemarau. Seiring datangnya penghujan juga tumbuh rerumputan. Hewan ternak kemudian mengonsumsi rumput ini. Akan lebih parah jika ada mobilisasi hewan, rumput atau tanahnya. Penyebaran antraks akan semakin luas,” ujarnya. (dwi/tif)