emakaman Gunung Sempu merupakan salah satu kompleks pemakaman Tionghoa di Jogjakarta. Pemakaman seluas sekitar 25 hektare ini dibagi menjadi empat bagian.
SITI FATIMAH, Bantul, Radar Jogja
RADAR JOGJA – Pemakaman Gunung Sempu tidak hanya digunakan untuk memakamkan Tionghoa yang tinggal di Jogjakarta. Banyak pula Tionghoa dari daerah lain.
”Terutama (untuk) Tionghoa (yang tinggal di) Jogja. Tapi, dari Semarang, kalau sudah (pesan) di sini, juga dimakamankan di sini,” kata Juru Kunci Makam Gunung Sempu 1 Rusyanto.
Pemakaman Gunung Sempu telah kondang sampai ke luar DIJ. Namun, ternyata, peminatnya menurun.
Menurutnya, saat ini ada opsi lain yaitu dikremasi. Bahkan, kremasi menjadi alternatif pilihan utama.
Dikatakan oleh Rus, dalam sebulan terdapat 2 sampai 3 orang yang dimakamkan di Gunung Sempu. Proses penguburan jenazah Tionghoa dilakukan dengan mengubur seluruh hartanya. ”Dicor. Abis dimasukin dicor pasir tiga colt, semen lima, banyu dua drum. Dipasek. Kalau mau bongkar, ya 3-4 hari,” terangnya.
Rus mengaku mendapat upah untuk mengurusi setiap pemakaman. Dia memperoleh antara Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu setiap kali pemakaman.
Menurutnya, Gunung Sempu dipilih menjadi tempat pemakaman Tionghoa karena merupakan wilayah yang nyaman. Sebelumnya, kompleks pemakaman Tionghoa berada di lokasi yang saat ini menjadi masjid Universitas Gadjah Mada (UGM).
”Kota kan kebanyakan ada penggusuran. Tahun 1997 itu dipindah. Banyak yang dipindah ke sini. Salong (sebagian) dikremasi,” ungkapnya.
Kompleks Pemakaman Gunung Sempu paling ramai ketika Cap Go Meh. Warga sekitar biasa menyebutnya Cembeng. ”Sembahyang pakai dupa, lilin, ada tulisan itu. Khas pakai kue bulan,” lanjutnya.
Menurut Rus, tanah yang ditempati sebagai makam adalah Sultanaat Ground milik Keraton Jogja. Pemakaman ini berada di bawah pengelolaan Perkumpulan Urusan Kematian Jogjakarta (PUKJ).
”Mau kubur, urusannya sama PUKJ. Sini cuma biaya perawatan,” terangnya.
Suprihatin, perawat makam, mengaku menjadi perawat makam sejak masih kecil. ”Kula kawit cilik. Wong omah bapak kula mung neng ngisor kuwi (Sejak saya kecil. Rumah bapak saya hanya di sebelah bawah itu),” katanya.
Perawat makam lainnya, Sosro Wiyati, menyatakan merawat makam sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan. Dia membersihkan makam di bagian bawah. ”(Pendapatan) ndak pasti. Cuma ngabdi sama Tuhan,” katanya.
Handoko Raharjo, warga Semarang yang sedang nyekar, tampak datang bersama istrinya. Dia menyatakan, orang tua istrinya dimakamkan di Gunung Sempu. ”Nyekar saja, karena mau Imlek. Bersih-bersih kuburan. Ini kan kebudayaan,” katanya. (amd)