RADAR JOGJA – Aksi kriminalitas jalanan telah menjadi momok bagi warga Jogjakarta. Tercatat ada 40 kasus yang ditangani kepolisian selama medio 2019 hingga Januari 2020. Dari total 81 pelaku, sebanyak 57 orang di antaranya berstatus pelajar. Sementara sisanya berstatus pengangguran.
Pihaknya tengah mendalami adanya kemungkinan proxy war. Berupa pelemahan para generasi bangsa Indonesia. Caranya dengan melalui beragam pendekatan. Mulai dari narkotika, pergaulan bebas hingga aksi kriminaliats jalanan.
“Proxy war itu terorganisir dengan tujuan melemahkan bangsa Indonesia. Cara dengan dikasih narkoba, pil koplo hingga maraknya aksi yang terkenal dengan nama klitih. Masih kami dalami motif di belakangnya apa,” jelas Kapolda DIJ Irjen Pol Asep Suhendar dalam Forum Group Discussion (FGD)di Mapolda DIJ, Selasa (4/2).
Munculnya teori ini sendiri berangkat dari latar belakang aksi kriminalitas jalanan. Rata-rata para pelaku tidak memiliki motif yang jelas dalam beraksi. Seperti tidak adanya konflik pribadi atau antar kelompok. Mayoritas korban cenderung acak dan tidak saling mengenal.
Modus operandi dalam melakoni aksi beragam. Tercatat kasus penganiayaan mencapai 19 kasus. Aksi yang bermodalkan senjata tajam mencapai 17 kasus. Adapula aksi disertai dengan perusakan sebanyak empat kasus.
“Ini harus dipetakan apa latar belakang dan akar masalahnya. Lalu dicari solusinya untuk memotong masalah sehingga tidak timbul aksi kriminalitas jalanan seperti yang marak saat ini,” katanya.
Selain teori proxy war adapula permasalahan keluarga. Rata-rata pelaku aksi kriminalitas jalanan usia pelajar berangkat dari keluarga yang tak harmonis. Alhasil muncul masalah baru saat anak berada di luar rumah.
Bertemu dengan teman sebaya yang memiliki pemikiran sama. Lalu muncul jiwa pemberontak yang berujung pada aksi anarkisme dan kriminalitas. Di satu sisi tidak adanya kehadiran orangtua membuat anak bertindak tanpa berpikir.
Itulah mengapa Polda DIJ menggelar sebuah FGD. Seluruh akar masalah benar-benar dikupas secara mendalam. Hingga akhirnya mendapatkan sebuah solusi. Tidak hanya bicara tentang aspek hukum tapi juga pendekatan sosial.
“Karena setiap ada kasus seperti ini yang ditanya hanya polisi. Padahal ini menjadi tanggungjawab semua stakeholder. Bagaimana pelaku yang mayoritas remaja ini di rumah, lalu sikapnya di sekolah. Permasalahan ini ibarat puncak gunung es di lautan, akar masalahnya sangat komplek,” ujarnya. (dwi/tif)