RADAR JOGJA – Angka kriminalitas yang melibatkan pelajar masih cukup tinggi. Walau berdasarkan data Polda DIJ ada penurunan. Medio 2017 tercatat ada 51 kasus, turun jadi 45 kasus pada 2018. Angka ini kembali turun pada medio 2019 menjadi 44 kasus. Sementara untuk awal 2020 tercatat sudah 6 kasus.
Polda DIJ juga mencatat ada puluhan sekolah kategori rawan. Terdiri dari 29 SMA, 23 SMK dan 2 Madrasah Aliyah. Seluruhnya tersebar di seluruh wilayah DIJ.
“Antisipasi yang dilakukan dengan penerjunan personel. Terangkum dalam program satu sekolah dua polisi (SSDP). Program ini diinisiasi bersama antara Polda DIY dengan Disdikpora DIY,” jelas Kasie Pelatihan dan Kemampuan Subdit Bhabinkamtimbmas Polda DIJ AKP Murniani, Kamis (27/2).
Strategi ini bertujuan menekan aksi kriminalitas jalanan. Harapannya setiap sekolah dapat terawasi secara maksimal. Tak hanya dari segi kegiatan tapi juga para siswanya. Sehingga bisa melakukan pencegahan awal apabila melenceng dari konsep belajar.
Tercatat saat ini ada 108 personel yang bertugas menjalankan SSDP. Terdiri dari 26 personel yang bertugas di wilayah Kota Jogja. Sebanyak 38 personel bertugas di wilayah Kabupaten Sleman. Adapula 22 personel di wilayah Bantul, 10 personel di wilayah Gunungkidul dan 12 personel di Kabupaten Kulonprogo.
“Tujuannya untuk menciptakan kamtibmas di sekolah. Ketika ada persoalan bisa langsung konsultasi dengan sekolah. Jadi sekolah yang mendapat SSDP itu dianggap rawan untuk melakukan kenakalan pelajar,” katanya.
Perwira pertama balok tiga ini juga menjabarkan faktor penyebab kenakalan pelajar. Paling utama adalah keberadaan geng sekolah. Kelompok ini memiliki dampak buruk bagi siswa. Bahkan bisa dibilang kontra produktif untuk segala aspek.
“Geng sekolah itu wadah bagi para pelajar. Untuk mendapatkan pengakuan, hingga pencarian jati diri. Masalahnya untuk masuk syaratnya kadang melanggar hukum. Harus menyerang kelompok lawan bahkan melukai siapapun tanpa alasan yang jelas,” ujarnya.
Kepala Bidang Pendidikan Menengah Disdikpora DIJ Isti Triasih mengakui tak mudah melakukan pendekatan kepada siswa. Ini karena adanya jarak usia antara siswa dengan pengampu pendidikan. Walau begitu jajarannya terus berupaya mereduksi kenakalan para remaja.
Dia mencontohkan diskusi yang digelar di Kantor Disdikpora DIJ. Kegiatan ini bersifat undangan, kenyataannya tidak semua mau hadir. Padahal terciptanya ruang temu ini menjadi upaya nyata dengan mendekatkan para siswa yang berbeda sekolah.
“Awal mula munculnya geng sekolah karena ada persaingan antar sekolah. Dirunut lagi munculnya masalah karena tak ada komunikasi yang intens. Tidak saling mengenal sehingga akhirnya muncul benih permusuhan. Inilah yang coba kami hilangkan,” jelasnya.
Diskusi kali ini melibatkan setidaknya 71 siswa dari 27 sekolah yang berbeda. Suasana cukup cair karena para siswa saling berkomunikasi. Walau tahapan ini hanya diikuti perwakilan sekolah.
“Kalau dari segi internal berupa pembinaan guru bimbingan konseling. Tapi dari semua ini peran paling utama ada di rumah. Yaitu kehadiran orangtua atau keluarga. Saat komunikasi dan kasih sayang di rumah intens, pasti anak tidak akan melenceng saat keluar dari rumah,” katanya. (dwi/tif)