RADAR JOGJA  – Isu Omnibus Law turut menjadi perhatian penting jajaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Tak hanya sekadar perluasan kesempatan kerja bagi angkatan kerja baru. Aturan ini juga memiliki kaitan erat dengan sumber daya alam dan lingkungan.

Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar memandang adanya permasalahan pelik. Dia meminta agar kehadiran RUU Omnibus Law disikapi secara bijak. Terlebih untuk saat ini masih terbuka ruang diskusi. Harapannya agar aturan ini bisa memayungi masyarakat secara kompleks.

“Dalam konteks ilmu lingkungan, di situ terjadi beberapa paradoks. Artinya, mana yang harus dijaga, mana yang bisa, katakanlah, diatur dengan kelestarian menurut standar-standar tertentu. Ini harus sama pemahamannya antara orang daerah dengan pemerintah pusat,” jelasnya ditemui usai Rakornas KLHK di Sahid Raya Hotel, Sabtu (29/2).

Pernyataan Siti sangat beralasan. Dalam beberapa konteks ada perbedaan persepsi aturan. Alhasil penerapan di tingkat daerah dan pemerintah pusat berbeda. Padahal ranah regulasi sejatinya berada dalam alur yang sama.

RUU Omnibus Law, lanjutnya, turut berbicara tentang hutan dan lingkungan. Kaitannya adalah regulasi perijinan seperti analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dan perizinan lainnya. Konteks terkait adalah pembangunan dan pengolahan hasil bumi untuk mewujudkan kemakmuran rakyat.

“Tapi jangan lupa, itu kan masuknya di bab ekonomi. Berarti dalam melihat paradoks ini kan harus pas. Kerangka kelestarian dan sustainability-nya itu yang harus dijaga. Konteks yang terkait seperti sanksi, lalu AMDAL dan lainnya,” katanya.

Penerapan aturan ini turut memangkas sejumlah birokrasi. Walau begitu Siti memastikan pemangkasan bukan berarti dihilangkan sepenuhnya. Pemerintah, lanjutnya, justru menyederhanakan sejumlah perizinan.

Dia mencontohkan adanya kesamaan antara izin lingkungan dengan kelayakan lingkungan. Inti dan konsep kedua perizinan tersebut sama. Perbedaannya adalah instansi yang menerbitkan perizinan tersebut. Keduanya melebur dalam Perijinan Berusaha.

“Itu sebetulnya bunyinya sama, hanya bedanya yang kelayakan lingkungan adalah keputusan menteri yang memayungi. Kalau izin lingkungan diberikan pihak lain. Nah sekarang kalau terminologinya sama, ini disatukan. Jadi lebih disederhanakan daripada hal yang sama dengan dua kali keputusan,” ujarnya.

Penyerdehanaan ini diharapkan mampu mengurangi beban pemohon ijin. Siti tak menampik permasalahan perijinan masih cukup pelik. Rumitnya birokrasi memunculkan celah penyalahgunaan kuasa. Alhasil tahapan ini membebani masyarakat.

“Terhadap situasi seperti ini maka kami tetapkan standar. Artinya pemerintah semakin mengurangi beban kepada masyarakat. Perintahnya, beban standar itu ditarik ke pemerintah dan disiapkan oleh pemerintah,” katanya.

Jajarannya tengah menyiapkan lembaga pengendali. Acuana yang digunakan tetap UU yang telah disahkan. Sistem pengawasan diterapkan secara berjenjang. Ranah ini tak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah pusat tapi juga pemerintah daerah.

“Kami sedang siapkan dan akan dibahas dengan Menpan RB. Pengawasannya mesti kenceng. Tadi kami sudah bilang ke daerah akan bikin pengawasan berjenjang. Pastinya menunggu Perprs tentang LHK turun. Itu langsung jadi sistemnya dan langsung kami kembangkan bersama-sam pemda,” ujarnya. (dwi/tif)