JOGJA- Suasana tegang menyeruak di dalam Gereja Santa Lidwina Stasi Bedog Paroki Kumetiran Sleman Minggu (11/2) pagi. Kekhusyukan jemaat yang sedang menjalani misa ekaristi sekitar pukul 07.45 mendadak buyar. Seorang berkaus hitam mengacungkan pedang dan menyerang jemaat secara membabi buta. Sontak para jemaat berhamburan keluar gereja untuk menyelamatkan diri. Pria yang belakangan diketahui bernama Suliono lantas merangsek ke mimbar dan menyerang Pastur Karl Edmun Prier SJ. Romo Prier, sapaannya, mengalami luka parah di bagian belakang kiri kepalanya hingga harus menjalani operasi di RS Panti Rapih Jogja.
“Batok (tempurung, Red) kepala belakang Romo Prier ada yang gempil kena sabetan pedang, tapi bisa diopreasi,” ungkap Romo Madya Utama di RS Panti Rapih. Romo Madya adalah rekan Romo Prier satu pasturan di Bener, Tegalrejo, Kota Jogja.
Menurut Romo Madya, kondisi Romo Prier terus membaik. Romo asal Jerman yang telah menjadi warga negara Indonesia itu juga sudah bisa berbincang dengan ceria seperti biasa. Secara sadar tokoh agama berusia 81 tahun mampu mengingat dan menceritakan kronologi kejadian yang menimpanya dan jemaat Gereja Stasi Bedog.
Berdasarkan keterangan Romo Prier, kata Romo Madya, pelaku awalnya duduk di depan gereja. Saat misa akan dimulai pelaku masuk ke dalam gereja dan melukai jemaat. “Saat itu Romo Prier sedang memimpin misa,” ungkapnya.
Selain menyerang Romo Prier, pelaku juga melukai tiga jemaat. Dua jemaat, Budijono dan Yohanes Trianto, mengalami luka bagian kepala. Luka yang dialami keduanya disebut-sebut lebih parah dibanding Romo Prier. Keduanya juga dirujuk ke RS Panti Rapih. Saeorang jemaat lainnya, Martinus Parmadi Subiantara, mengalami luka sabetan senjata tajam di bagian punggung.
“Pak Budijono sempat pingsan setelah dahinya kena sabetan pedang. Karena kekuatan Tuhan dia bisa bangun lagi dan menyelamatkan anaknya,” ucap Romo Madya.
Menyikapi kasus tersebut, Romo Madya mengimbau seluruh jemaatnya dan masyarakat DIJ tidak terprovokasi. Agar tak mudah diadu domba. Meskipun dia menduga penyerangan tersebut dilakukan oleh seseorang atau kelompok tertentu yang sengaja ingin membuat suasana keruh. “Kita tidak perlu over reaktif, tapi harus hati-hati supaya kejadian serupa tidak terulang,” tuturnya.
Romo Madya juga meminta semua pihak tak mengaitkan aksi penyerangan dengan agama tertentu. Karena prinsip keberagamaan adalah mengamalkan kebaikan. “Tapi sayangnya saat ini banyak yang hanya dipakai sebagai topeng,” sesalnya.
Sementara itu, Humas RS Panti Rapih Sugeng mengatakan, total ada empat korban yang dirawat akibat luka sabetan pedang. Namun, seorang di antaranya diperbolehkan pulang karena lukanya tidak terlalu serius. Radar Jogja mendapat informasi, korban kelima adalah Aiptu Munir. Anggota Polsek Gamping ini terluka sabetan pedang di tangan sebelum menembak pelaku.
Kapolres Sleman AKBP M.Firman Lukmanul Hakim memaparkan, penyerangan di Gereja Stasi Bedog bermula ketika Suliono masuk dari pintu bagian barat. Tanpa babibu dia melukai Martinus Parmadi Subiantara yang saat itu berada di depan pintu gereja. Selanjutnya, pelaku berjalan ke selatan dan kembali mengayunkan pedangnya ke arah Budijono, yang saat itu sedang bersana anaknya. Budijono terkena sabetan pedang pelaku saat pasang badan untuk melindungi anaknya. Pelaku terus berjalan ke arah mimbar dan menyerang Romo Prier.
Setelah semua jemaat dan korban dievakuasi, umat yang laki-laki dibantu warga setempat mengurung pelaku di dalam gereja. Semua pintu pun ditutup. Hingga Aiptu Munir sampai di lokasi kejadian. Aiptu Munir lebih dulu memberikan peringatan lisan. Karena tidak digubris lalu tembakan peringatan ke udara. Pelaku ternyata semakin nekat, bahkan Aiptu Munir sempat dibacok tangannya. “Akhirnya pelaku dilumpukan kedua kakinya dengan timah panas,” katanya.
Setelah tertembus timah panas, barulah Suliono bisa diringkus. Dia sempat dirawat di RSA UGM. Namun, dengan alasan keamanan dan kepentingan penyelidikan, Suliono kemudian dipindahkan ke RS Bhayangkara. “Kondisi terakhir pelaku kritis,” ungkap Kapolres.
Dari tangan Suliono polisi mengamankan pedang sepanjang 40 cm dan tas ransel milik pelaku. Di dalam tas tersebut polisi mendapati identitas Suliono. Dia tercatat sebagai warga Krajan, RT 02/RW 01, Kandangan, Pesanggrahan, Banyuwangi, Jawa Timur. Remaja kelahiran 16 Maret 1995 itu berstatus mahasiswa. Polisi juga mendapati dokumen keimigrasian atas nama Suliono. Dari temuan tersebut, Suliono diduga sedang memproses pembuatan paspor untuk kepentingan pergi ke luar negeri. Menurut Firman, pelaku sering berpindah-pindah tempat tinggal. Radar Jogja mendapat informasi, Suliono ternyata baru lima hari tinggal di Jogja. Itu pun tanpa sepengetahuan keluarganya di Banyuwangi.
Hingga tadi malam pelaku belum sadarkan diri. Polisi pun belum bisa mengungkap motif di balik tindakan pelaku. Penyelidikan sementara menunjukkan, pelaku bertindak sendirian. Kendati demikian, tak menutup kemungkinan bahwa pelaku lebih dari seorang. “Semua masih kami selidiki. Termasuk kemungkinan pelaku mengalami gangguan jiwa atau tidak. Kami berkomitmen menyelesaikan kasus ini sampai tuntas,” ujar perwira menengah Polri dengan dua melati di pundak.
Sosiolog Kriminalitas Universitas Gadjah Mada Soeprapto menduga ada banyak kemungkinan motif penyerangan umat Katolik di Gereja Stasi Bedog kemarin. Tindakan nekat pelaku bisa jadi akibat pengaruh minuman beralkohol. Ini yang membuat pelaku tak sadar saat menyerang jemaat gereja maupun aparat kepolisian. “Namun dengan memilih gereja sebagai sasaran, sangat kecil kemungkinan motif ini. Karena pelaku mampu memilih sasaran,” jelasnya.
Kemungkinan lain, pelaku sedang berkonflik dengan seseorang yang dia duga ada di dalam gereja. Tindakan pelaku dimaksudkan agar diketahui lawannya. Atau membuat lawannya takut, sehingga pelaku merasa menang. “Tapi jika motifnya seperti ini seharusnya dia tak akan berani melawan polisi,” ungkapnya menyelidik.
Motif lain yang lebih memungkinkan, kata Soeprapto, adalah untuk kepentingan golongan atau kelompok tertentu. Misalnya, kepentingan politik. Atau aksi pribadi pelaku untuk memenuhi syarat rekrutmen kaderisasi anggota geng tertentu. Untuk menguji nyali atau keberanian pelaku. “Makanya penyidik harus cermat saat interogasi pelaku. Perlu dilakukan backward tracer atau penelusuran ke belakang untuk mencari tahu dalangnya,” ujar Soeprapto.
Menurut Soeprapto, untuk mengungkap kasus tersebut polisi tak bisa bertindak sendirian. Tapi harus melibatkan tokoh agama, politik, dan akademisi. Hal ini penting untuk mendeteksi motif tindakan pelaku jika dia berkelit saat menjawab interogasi polisi.(pra/dwi/ita/yog/mg1)