JOGJA – Polemik hak kepemilikan tanah bagi warga negara Indonesia (WNI) non-pribumi di DIJ mendapat perhatian serius Komisi II DPR RI. Dalam kunjungan kerja masa reses di Bangsal Kepatihan Kamis (1/3) Komisi II menunjukkan dukungan kepada Pemprov DIJ terhadap persoalan kepemilikan sertifikat hak milik (SHM) tanah bagi warga keturunan Tionghoa.

Anggota Komisi II Rufinus Hotmaulana Hutauruk menilai kebijakan Pemprov DIJ yang masih memberlakukan Instruksi Kepala Daerah 898/I/A-1975 tidak mengandung unsur diskriminatif. Alasannya, sebagai daerah istimewa, DIJ tidak tunduk pada Undang-Undang Pokok Agraria.

Rufinus justru berkeinginan mewujudkan DIJ sebagai daerah lex specialis (memiliki hukum bersifat khusus, Red). Terutama dalam pengaturan pertanahan. Agar ke depan tak lagi muncul persoalan seperti yang terjadi saat ini. Karena instruksi kepala daerah tentang penyeragaman policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI non-pribumi tersebut memiliki konsekuensi bagi warga keturunan Tionghoa tidak bisa memiliki tanah SHM di DIJ.

“Ini kekhususan sendiri. Karena tanah di DIJ adalah grand Sultan. Yang punya riwayat, di mana Belanda memberikan (hadiah, Red) kepada Sultan,” katanya.

Kehadiran anggota Komisi II DPR RI ke Kepatihan dalam rangka mencari masukan Pemprov DIJ dan Badan Pertanahan Nasonal (BPN) sebagai catatan akademis penyusunan Rancangan Undang-Undang Pertanahan dan Rancangan Undang-Undang Pedesaan Masyarakat Adat. Termasuk mengorek informasi seputar permasalahan lahan calon bandara baru di Kulonprogo (New Yogyakarta International Airport).

“Kami sedang belanja permasalahan di sini. Agar nanti bisa memayungi permasalahan pertanahan,” katanya.

Lebih lanjut dikatakan, Perdais No 1/2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfataan Tanah Kasultanan dan Kadipaten, yang merupakan turunan UU No 13/2012 tentang Keistimewaan DIJ, tidak menyebut kalimat pribumi dan non-pribumi. Karena itu kebijakan Gubernur DIJ Hamengku Buwono (HB) X memberlakukan Instruksi Kepala Daerah 898/I/A-1975, menurut Rufinus, justru sebagai bentuk perlindungan hak kepemilikan tanah bagi warga keturunan Tionghoa. Maksudnya, hak guna bangunan (HGB). Bukan SHM. Rufinus memandang, HGB tidak bisa disita bila terjadi sengketa tanah yang bersangkutan, karena pemiliknya adalah pemerintah atau Sultan.

Pria yang juga berprofesi sebagai advokat ini juga tak sepakat jika HB X dituding telah melakukan diskriminasi dalam kebijakan pertanahan. Terutama bagi warga keturunan Tionghoa. “Semua sudah diberikan hak,” katanya.

Rufinus justru mencium adanya aroma bisnis yang memicu munculnya tudingan diskriminasi pertanahan. “Jadi, kalau ada hak milik tanah itu, kita taulah, ujungnya kan minta uang (kredit, Red) ke bank,” tudingnya.

Jika tidak punya apa-apa, sambungnya, maka seseorang akan memberdayakan semua yang dimiliki untuk mendapatkan skim kredit pembiayaan dari bank.

Sareh Wiyono, anggota Komisi II lainnya, sependapat dengan Rufinus bahwa di DIJ tidak ada diskriminasi pertanahan. Menurutnya, HB X memiliki keistimewaan dalam menjalankan kebijakan. “Itu kan sudah menjadi kewenangan daerah istimewa,” katanya.

Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah BPN DIJ Tri Wibisono enggan menanggapi polemik pertanahan di DIJ yang melibatkan warga keturunan Tionghoa. “Kalau itu saya no comment dulu ya. Masih kami bahas,” kelit Tri seraya masuk ke dalam mobil dinasnya.

Sedangkan Sekprov DIJ Gatot Saptadi menyatakan, penjelasan yang diberikan kepada Komisi II sesuai dengan fenomena yang sedang terjadi saat ini. “Intinya, semua yang dibutuhkan sebagai referensi penyusunan RUU Pertanahan,” ucapnya. Sebagaimana diketahui, polemik pertanahan di DIJ masih menjadi persoalan pelik yang berimplikasi hukum. Handoko, advokat yang berdomisili di Jalan Taman Siswa, Jogja, telah menggugat gubernur DIJ dan Kepala Kanwil BPN DIJ atas

perbuatan melawan hukum (PMH) karena menjalankan Instruksi Kepala Daerah DIJ No. K 898/I/A/1975. Kendati demikian, gugatan tersebut dikandaskan Pengadilan Negeri Jogja dalam sidang 20 Februari lalu. Dalam putusannya, majelis hakim yang dipimpin Cokro Hendro Mukti menyatakan, instruksi yang diteken Wagub DIJ Paku Alam VIII bukan merupakan produk perundang-undangan. Menurut majelis, dalam teori ketatanegaran, sebuah instruksi diperlukan sebagai kebijakan. Tentang kewenangan pemerintahan terhadap warga negara, yang ditetapkan berdasarkan kekuasaan sendiri oleh instansi pemerintah yang berwenang. (bhn/yog/mg1)