Oleh: Ibnu Subiyanto
Bupati Sleman 2000-2010

Pasca Perang Dunia I se-abad yang lalu, perekonomian dunia mengalami resesi besar yang dikenal sebagai malaise. Produksi yang berlebih tidak terjual, di sisi lain banyak negara yang tak punya daya beli dan rakyatnya jatuh miskin akibat perang.

Perang yang sebetulnya hanya melanda seluruh kawasan Eropa, pada akhirnya berdampak pula ke semua daerah jajahan. Kalau di Eropa, resesi itu sangat terasa di dekade 1920-1930, maka di Hindia Belanda baru terasakan pada dekade berikutnya, 1930-1940.

Beberapa persoalan yang muncul pada dekade tahun 1930-1940 adalah produk pertanian yang tak terserap oleh pasar utama di daratan Eropa. Imbas resesi mengakibatkan penutupan operasi perkebunan tebu dan pabrik gula di Negara Gung Jogjakarta dan Surakarta. Imbas langsung pada pengurangan dana Keraton Jogjakarta dan juga sumber pendapatan rakyat.

Saat itu hanya beberapa unit pabrik gula yang bisa bertahan dari 19 pabrik di wilayah Swapraja Keraton Jogjakarta. Tentu penutupan pabrik-pabrik gula itu berimbas pada pola tanam para petani, yang saat itu berlaku sistem “glebagan“. Sistem ini mengatur penggunaan lahan dalam dua tahun pabrik gula menyewa selama 14 bulan dan petani penggarap dapat jatah waktu sepuluh bulan (dua musim tanam padi).

Dengan penutupan pabrik gula berarti para petani kehilangan sumber keuangan dari pabrik gula. Tapi, justru tak bisa memanfaatkan dengan optimal jatah waktu 14 bulan milik pabrik tersebut. Kebutuhan air bagi perkebunan sangat berbeda jauh dengan kebutuhan air untuk tanaman padi lahan basah. Sehingga, kalau mau meningkatkan produktivitas lahan perlu irigasi dan tidak boleh menggantungkan pada hujan saja (sawah tadah hujan). Akibatnya, rakyat menjadi semakin miskin karena kehilangan pekerjaan dan pendapatan dari pabrik tebu, yang sebetulnya menunjukkan kelemahan sistem culture-stelsel yang menggantungkan ekonomi negara pada korporasi agro industri.

Belum lagi resesi ekonomi dunia pulih, pada 1 September 1939 Perang Dunia II dimulai, Hitler menyerbu Polandia. Pada 10 Mei 1940, Jerman menyerbu Kerajaan Belanda yang hanya dalam tempo tiga hari sudah menyerah kalah. Ekspor gula dan produk-produk pertanian Hindia Belanda macet total. Perekonomian makin kacau ketika perang Asia Timur dimulai tahun 1941.

Dua masalah berat harus dihadapi oleh Sultan Hamengku Buwono IX, diawal coronation sebagai seorang Ksatria Mataram. Tugas terberat Sultan adalah bagaimana rakyat bisa lepas dari kemiskinan struktural dan melepaskan dari ketergantungan pada agro industri yang tak peduli pada nasib rakyat kecil.

Revitalisasi lahan-lahan pertanian yang ditinggal para kapitalis itu adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan rakyat yang lapar dan sudah tak berdaya. Opsi satu-satunya adalah harus meningkatkan volume air permukaan untuk kepentingan irigasi pertanian.

Kali Progo yang pada musim hujan mengalirkan air sebanyak 60 meter kubik per detik harus disebarkan ke lahan pertanian tanaman pangan antara Kali Opak dan kali Progo. Sebuah keputusan yang sangat cerdas oleh raja yang baru pertama kali mengambil keputusan yang sangat mendasar.

Kemiskinan di akar sistem sosial inilah yang menjadi tantangan berat bagi raja yang masih muda dengan latar belakang pendidikan yang sempurna: kebutuhan air bagi rakyat. Di zaman Kolonial, sering kali orang berkelahi gara-gara berebut air. Oleh karena itu, di tingkat pemerintahan desa dibentuk perangkat desa yaitu: ulu-ulu. Mereka itulah yang mengatur irigasi ke seluruh lahan persawahan pada musim kemarau agar tanaman palawija bisa tetep hidup. Bahkan, prioritas air pun untuk kepentingan kebun tebu. Bagi kadang tani, air merupakan kebutuhan vital untuk mengairi tanaman yang telah tumbuh agar tak mati layu kekurangan unsur hara dan oksigen.

Intake Selokan Mataram di Kali Progo pada ketinggian 159,1 meter di atas permukaan laut (m-dpl) dan berakhir di Kali Opak pada ketinggian 136 m-dpl. Artinya, beda ketinggian hanya 23 meter saja. Padahal, panjang Selokan Induk Karangtalun (3 kilometer) dan Selokan Mataram (31,2 kilometer) adalah 34,2 kilometer. Dengan demikian setiap kilometer hanya beda 0,675 meter saja, guna meredusir (menjinakkan) energi air yang sebetulnya sangat besar. Desain bangunan air Selokan Mataram untuk teknologi saat itu sebetulnya masih sangat sulit dikerjakan, namun bisa diselesaikan dalam tempo empat tahun saja.

Konsep irigasi sebetulnya bukan sekadar mengalirkan dan mendistribusikan air ke area persawahan. Tapi, sebetulnya mengalirkan air hujan ke seluruh kawasan agar meresap ke dalam tanah. Di musim penghujan, saluran induk Karangtalun mampu mengalirkan air dengan debit 17 sampai 18 meter kubik per detik, dibagi untuk Selokan Van der Wyck 6 sampai 7 meter kubik per detik dan ke Selokan Mataram 11 meter kubik per detik. Debit banjir di Kali Progo sebetulnya mempunya area tangkapan hujan sangat luas di lereng timur Gunung Sumbing, lereng timur dan utara Gunung Sindoro, sampai lereng barat daya dan barat Gunung Merbabu. Semua aliran air hujan masuk ke daerah aliran sungai (DAS) Kali Progo sehingga di musim hujan perlu di sebesarkan di seluruh dataran rendah.

Selokan Mataram memang karya gemilang pada situasi yang tak mendukung dalam posisi sebagai negeri terjajah oleh pemerintahan militer Jepang. Meski pihak Jepang pun pada akhirnya membantu teknik pembangunannya, namun sepenuhnya melalui kerja gotong royong dan dana pihak Keraton Jogjakarta yang menjadi pendukung utama. Jika tidak ada Selokan Mataram, di musim kemarau seluruh kawasan Jogjakarta akan merasakan panas yang menyengat bagaikan di padang pasir.

Air yang dialirkan di musim hujan dan diresapkan ke dalam tanah mempunyai peranan yang sangat besar untuk menjaga stabilitas humiditas di permukaan tanahnya. Artinya, air bukan sekadar untuk pertanian semata. Tetapi, mempunyai makna yang lebih luas bagi kehidupan manusia dan keseluruhan flora maupun faunanya.

Di sinilah terlihat kapasitas Raja Keraton Jogjakarta yang masih muda usia (28 tahun): kemampuan mengambil keputusan untuk kepentingan jangka yang sangat panjang bagi kepentingan rakyat dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan. Tujuh puluh tahun setelah bangunan air itu sekesai, rakyat Mataram masih merasakan manfaatnya. (*/amd/mg1)