Acara ini diikuti sekitar 100 orang. Mendatangi Pesanggrahan Glagah, Desa Glagah, Kecamatan Temon dan Paseban Masjid Makam Girigondo di Desa Kaliginting, Kecamatan Kokap.
“Pesertanya di antaranya DPC HPI Jogjakarta, guru SMA/SMK swasta se-Jogjakarta, komunitas sejarah dan museum, dan 18 rintisan Kelurahan Budaya se-Kota Jogjakarta,” kata Kepala Seksi Sejarah Dinas Kebudayan Kota Jogjakarta Tri Sotya Atmi SSos.
Kepala Dinas Kebudayaan Kota Jogjakarta Ir Eko Suryo Maharsono MM mengatakan diharapkan generasi muda mengenal sejarah Puro Pakualaman.
“Jelajah budaya rutin kami adakan. Mudah-mudahan bisa menarik masyarakat peduli dan mengenali sejarah. Khususnya generasi muda,” ujar Eko.
Setelah kegiatan tersebut, akan ada diskusi. “Diskusi mengapa lokasi makam Girigondo di atas gunung. Bisa mencermati apa yang terjadi di akhir abad 17. Akhir hubungan Belanda, Inggris dan Pakualaman,” kata Eko.
Pengageng Urusan Kapanitran Kadipaten Puro Pakualaman KRT Projo Anggono mengatakan Pesanggrahan Glagah dan Komplek Pemakaman Girigondo tidak terlepas dari kiprah Paku Alam (PA) V sekitar 1878 hingga 1900.
Saat itu PA V tengah membangun pertanian di Kulonprogo yang dulu bernama Adikarto. Wilayah Adikarto dulu berupa rawa-rawa dan pasir. Kemudian dibuat drainase dan Pesanggrahan Glagah oleh PA V.
“Fungsinya selain untuk istirahat juga digunakan kerabat Pakualaman ketika berwisata di Adikarto. Yang putri ke pantai, yang laki-laki ke hutan mencari kijang,” kata Eko.
Pada masa PA VI dan VII dilakukan perubahan. Bangunan disentuh gaya Eropa. Fungsinya juga bertambah, termasuk untuk upacara adat. “Salah satunya agenda labuhan yang masih dilanggengkan,” ungkapnya.
Dijelaskan, sebelum proses labuhan persiapan dilakukan di Pesanggrahan Glagah. Kumpul dan menyiapkan ubo rampe di Pesanggrahan, setelah didoakan baru kemudian diiring bergodo pakualaman, dan sentono dalem bersama warga masyarakat menempuh jarak sekitar 3,5 kilometer baru kemudian dilarung. Upacara labuhan itu biasanya dilaksakanakan setiap bulan September atau Suro dalam penanggalan Jawa.
“Hingga kemudian ada kebutuhan untuk eksporasi pasir besi, Pesanggrahan Glagah dipinjam oleh PT Jogja Magasa Iron (JMI) untuk dimanfaatkan dengan syarat ikut merawat, sampai saat ini masih diguakan oleh JMI. Sekitar setahun terakhir, Pesanggrahan Glagah juga sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Kadipaten Puro Pakualaman memiliki dua Pesanggrahan, yakni Pesanggrahan Glagah dekat laut, dan Pesanggrahan Hargopeni, Kaliurang dekat gunung,” jelasnya.
Dipaparkan, untuk Makam Girigondo juga dibangun pada masa PA V. Berdasarkan sejarah, saat itu PA V mencari tempat pemakaman baru ketika makam-makam pendahulu mulai PA I- PA IV di Kota Gede penuh dan tidak ada tempat lagi. “Pada titik itu, kebetulan istri dari PA V juga berasal dari Kulonprogo, saat bersamaan ada Tsentse Cina yang juga ingin mencari lokasi pemakaman, saat disampaikan ke PA V justru kemudian menjadi referensi,” paparnya.
Kompleks Makam Girigondo ini dulu lebih dikenal dengan nama Gunung Keling, tempat yang bagus sekali dan berbau harum. Sejak itu PA V membangun di puncak Girigondo menjadi kompleks pemakaman, belum ada jalan dan masjid yang sekarang ada.
“Sekitar tahun 1900 beliau (PA V) mangkat atau wafat kemudian dimakamkan pertama kali di Girigondo, perjalanan sejah Garwo dan wayah juga disemayamkan diini sampai ke PA VIII dan keturunannya. Bentuknya bersaf 6 tingkat, dan puncaknya adalah makam raja-raja,” ucapnya.
Pada masa PA VII di tahun 1990 baru dibuat masjid, yang dulu hanya berupa bangunan untuk transit atau beristirahat kerabat Puro Pakualaman ketika ingin berziarah. Lama kelamaan dibuat masjid dengan tujuannya untuk bersuci sebelum ziarah. Tahun 1960 mulai dibangun anak tangga ke kompleks makam, seteleah kompleks makam di atas penuh, PA IX membuat sendiri di pertengahan tangga naik tepatnya di sisi kiri.
“Hingga kemudian Girigondo tidak hanya menerima kunjungan internal Puropakualaman, tetapi juga menjadi tempat wisata religi. Banyak pengunjung yang datang, kendati hanya sekedar untuk mengenal sejarah atau berziarah. Disini ada 22 juru kunci abdi dalem Puropakualaman yang selalu siap melayani siapa saja yang datang kesini,” katanya.
Peserta Jelajah Budaya, Suhardo dari Kelurahan Rintisan Budaya Semaki mengaku tertarik dan senang mengikuti jelajah budaya kali ini. ebagai warga Jogja ia mengaku baru kali pertama datang ke Girigondo. “Dengan ikut kegiatan ini saya jadi cukup tahu tentang aset PA di Kulonprogo, sangat bagus untuk pendidikan, apalagi untuk generasi muda agar tidak kehilangan jadi dirinya sebagai orang Jawa,” katanya.
Juru Kunci Makam Girigondo, Wasiludi mengatakan, saat ini peziarah tidak hanya dari intern Puro Pakualaman, tetapi juga pejabat yang merasa ada hubungan emosional dengan kerabat Pakualaman, kelompok pengajian, organiasi masyarakat, dan masyarakat umum.
“Dulu sebelum tahun 2000, belum banyak destinasi wisata di Kulonprogo, banyak sekali yang datang ke Kompleks Makam Girigondo, namun sejak tahun 2000 mulai menurun, kalau saat ini kunjungannya ya rata-rata hari puluhan di hari biasa, banyak kalau menjelang puasa bisa ratusan. Tugas kami sebagai juru kuci ya mendampingi mereka, maksud tujuannya apa, apakah cuma liat, mau ziarah atau yang lainnya kita temani,” ucapnya. (tom/iwa/mg1)