Ketika anak-anak balita sudah mengenal teknologi informasi, para ibu rumah tangga akan mendapatkan kesulitan bilamana putranya bertanya tentang mitos Bandung Bondowoso. Konon, Bandung Bondowoso mampu membangun Candi Sewu yang diselesaikan dalam waktu semalam dengan bantuan para jin.

Barang kali, anak-anak jaman now akan bilang: “Ah, Mama, bohong melulu.” Mungkin, si anak malah berpikir lain: “Ooo, kalau begitu lebih enak punya teman jin dan setan.” Artinya, mitos itu dapat menciptakan kepatuhan pada jin dan sejenisnya. Sementara itu, kita secara tak sengaja mengajarkan pada anak-anak adanya kehidupan yang khayali.

Padahal, kalau mitos itu dibedah dengan argumen yang logis, legenda itu bisa dijelaskan dengan akal sehat yang bernalar. Bagaimana pun, sebuah bangunan yang megah (baik di masa lalu maupun saat ini), pasti dibangun melalui proses bertahap dan dengan manajemen proyek yang demikian rumit.

Artinya, mitos itu menisbikan kemampuan teknis dan kompetensi para teknokrat masa lalu yang sebetulnya sangat hebat. Bangunan yang dikenal sebagai kebanggaan nasional itu menerapkan pola kerja yang rumit. Bukan saja dari aspek teknis pengerjaan. Tapi, menyangkut pekerjaan seni yang bermutu dan dikerjakan dengan peralatan yang ada saat itu. Peralatannya tentu sangat “primitif.”

Proses pembangunan candi di masa lalu sebetulnya memerlukan rancang bangun dan ternyata membutuhkan penalaran logis. Membutuhkan kemampuan manajerial seseorang pemimpin proyek yang mampu mengendalikan banyak tenaga kerja. Memahami prosedur kerja yang runtut. Memahami filosofi sebuah bangunan sacral. Mampu mengerjakan pekerjaan final dengan detail dan cermat.

Tentu yang sangat rumit adalah: Membuat presisi dalam aspek teknis telah terpenuhi. Hal ini menjelaskan pada saat itu sudah mengenal teknologi pengukuran yang sahih.

Jika kita mengabaikan cerita dan mitos masa lalu, dan menelaah kisah Bandung Bondowoso sebagai seorang arsitek dan sekaligus pemimpin projek saat itu, kita akan mendapatkan gambaran sosok seorang ahli yang sangat kompeten dalam mengorganisasi sebuah mission dengan kekuatan manusia dan peralatan yang sederhana. Jika kita mengangkat batuan candi maka akan paham bahwa berat setiap segmen batuan tersebut jauh lebih berat dari berat badan manusia. Tentu batuan itu diangkat oleh lebih dari satu manusia dengan peralatan yang digerakkan oleh tenaga manusia.

Jika kita mengamati tiap segmen batuan yang terpasang pada badan candi akan terlihat bahwa batu yang jumlahnya sangat banyak itu ditatah dan dibentuk rapi dan terukur seperti segmen sebuah puzzle. Bilamana batuan itu terpasang semua maka seluruh segmen saling tersambung (nyakot) satu dengan lainnya. Dengan demikian, bangunan candi tersebut punya sifat yang lentur.

Struktur candi yang tersusun dari ribuan segmen batu tersebut menjadi elastis ketika terjadi gempa. Semua itu menunjukkan setiap segmen batu yang terbentuk adalah pekerjaan tangan manusia dan telah mengenal detail pekerjaan. Padahal, saat itu mereka belum mengenal mesin dan peralatan standardisasi.

Secara teknikal, candi yang dibangun dengan ribuan segmen batu yang dibentuk itu, menunjukkan adanya pengetahuan yang sempurna tentang gempa bumi dan konstruksi bangunan. Semua penjelasan itu menegaskan keberadaan sebuah candi yang sudah terbangun dua belas abad yang lalu merupakan olah-budi manusia. Bangunan itu bukanlah pekerjaan para jin atau setan. Tetapi, benar-benar karya manusia yang mempunyai kemampuan untuk mewujudkannya.

Tentu saja mewujudkan karya pada abad itu memerlukan tenaga yang demikian banyak dan waktu yang lama juga. Mungkin pula, di saat pembangunan dilakukan dengan pemaksaan dan kekerasan fisik yang memakan korban manusia yang diperkerjakan. Tetapi, keseluruhan candi di kawasan Kalasan dan Prambanan itu terbangun dalam suatu kompleks yang terakses satu dengan yang lain. Kesemua itu menunjukkan sebagai suatu kawasan hunian yang telah terbangun dengan perencanaan yang rapi dan teratur.

Jika kita memperhatikan temuan di sekitar candi maka ada saluran air (tunnel yang telah tertutup lapisan vulkanik) yang tertata rapi. Ini menunjukkan kawasan hunian kuno yang untuk saat ini sering disebut kota.

Air yang mengalir di parit itu seolah menggambarkan bahwa kawasan kota kuno tersebut telah mempunyai sistem distribusi air baku dan air untuk kepentingan irigasi. Ketersediaan air bagi suatu hunian kolektif di masa lalu adalah cermin tata kehidupan yang makmur saat itu. Sekaligus, cermin kemampuan mengelola lingkungan hidupnya yang beradab. Dalam konteks sistem, masyarakat saat itu sudah mengenal tata kelola kehidupan secara kolektif.

Sebagai kawasan hunian yang tertata (kota kuno), area Kalasan dan Prambanan adalah pusat berkumpul manusia yang menegaskan adanya sistems organisasi sosial terbuka dengan banyak dimensi. Kawasan tersebut sebagai pusat gravitasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Bahkan, dalam bentukan keraton sebagai pusat kekuasaan pun terlihat adanya pertimbangan keamanan (militer), dalam pemilihan lokasi yang terintegrasi dalam penataan kawasan. Kota sebagai pusat hunian benar-benar telah dirancang oleh para teknokrat saat itu, yang salah satu arsiteknya menjadi legenda dan national pride: Bandung Bondowoso.

Sungguh sedih, sang arsitek yang pekerja lapangan (tentulah dekil dan kotor) itu dikisahkan sebagai lelaki yang gagal mempersunting sang ratu yang cantik jelita. Semangat (Freud: libido seksualitas seorang lelaki) untuk meraih kepuasan seks dipatahkan oleh suara ayam jantan berkokok menjelang fajar. Kegagalan arsitek top itu, dilakukan dengan cara yang licik: memanipulasi suasana menjelang fajar.

Sering kali kita membaca buku-buku ajar di sekolah-sekolah formal di negeri ini, materi sejarah lah yang justru sering menisbikan kapasitas manusia Jawa di masa yang lalu, hanya untuk menunjukkan superioritas sang penguasa. Padahal, karya monumental mereka telah membuktikan dan menunjukkan kapasitas intelektual maupun manajerial, penguasan teknologi, pemahaman lingkungan hidup, dan pengetahuan alam yang mumpuni.

Dan, yang paling menyedihkan dari kisah Bandung Bondowoso, di sekolah resmi ada muatan pelajaran: mengalahkan sang lawan dapat dilakukan dengan segala cara. Termasuk memanipulasi suasana alias menipu sang lawan (ora jujur). (*/amd/mg1)