Ada sejumlah faktor yang melatari pengembang belum sepenuh hati untuk beralih fokus mendirikan hunian berkonsep vertikal. Faktor tersebut yakni harga tanah dinilai mahal, jumlah backlog yang semakin bertambah tiap tahun, dan tren hunian yang masih mengandalkan rumah tapak atau landed housing.

Faktor tersebut menjadi alasan pelaku bisnis properti enggan merambah pasar hunian vertikal. Belum lagi, dampak sosial yang dapat terjadi ketika pengembang mendirikan hunian vertikal.

Permasalahan kompleks yang dialami pengembang untuk membangun hunian vertikal ini pada akhirnya membuat seretnya perkembangan hunian vertikal di Jogjakarta.

Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) DIY Rama Adyaksa Pradipta mengatakan, kebutuhan hunian vertikal masih didominasi untuk investasi. Hunian vertikal belum dimaknai sebagau hunian atau tempat tinggal.

“Konsep hunian itu untuk ditinggali keluarga. Sedangkan hunian vertikal saat ini belum menuju ke situ,” jelasnya kepada Radar Jogja beberapa waktu lalu.

Selain itu, pola pikir masyarakat yang ada di masyarakat beranggapan rumah yang dihuni adalah rumah tapak. Hal ini berpengaruh terhadap perkembangan hunian vertical di Jogjakarta.

Kondisinya berbeda dengan di Jakarta. Para pengembang di Jakarta telah mempersiapkan konsep hunian vertikal yang diperuntukkan bagi keluarga.Respons dari masyarakat pun sangat baik.

Problem lain yang membuat pengembang di Jogjakarta enggan mendirikan hunian vertikal adalah mahalnya biaya perawatan. Hal tersebut ditegaskan Wakil Ketua DPD REI DIJ Hugi Kahyadi Putrawan Hugi.

Menurutnya, masalah utama yang dialami manajemen hunian vertikal lebih kepada penghuni hunian vertikal tersebut. “Biasanya masalah utama dari penghuni. Ini karena mereka bisa beli tapi tidak sanggup tinggal,” tegasnya.

Lebih lanjut Hugi menjelaskan, penghuni yang menempati hunian vertikal akan dibebani biaya service charge. Ini berlaku sejak serah terima.

Biasanya, lanjut dia, pembeli yang tidak sanggup tinggal di hunian vertikal yang dibelinya memilih menunda serah terima. Langkah ini guna menghindari adanya tagihan biaya tambahan itu.

“Biasanya mereka yang membeli untuk tujuan investasi yang sering menunda serah terima,” ungkapnya.

Selain menunda serah terima, ada pula pemilik yang jarang tingal di hunian vertikal tersebut. Akibatnya, pihak pengelola hunian vertical kesulitan untuk menagih service charge.

Oleh sebab itu, biaya untuk perawatan fasad dan fasiltas umum bangunan akhirnya dibebankan kepada pengelola sehingga biaya yang dikeluarkan menjadi besar. “Mengakalinya ya harga service charge kita masukkan atau kita tarik sebelum serah terima,” jelasnya. (cr4/amd/mg1)