Jarum jam panjang masih tertatih menuju ke angka 12, walaupun jarum pendek hampir persis di angka 2. Masih cukup dingin dan sangat sayang jika harus beranjak dari tempat tidur.
Namun, berisik suara drum yang dipukul bergantian dengan kenong serasa menggugah emosi. Antara ketenangan dan kebutuhan akan segera
mempersiapkan santap sahur bagi keluarga.
Ya, walaupun masih agak panjang, tidak sedikit warga yang
tergugah dan merapat ke dapur. Mulai dari memasak lagi atau hanya
menghangatkan menu santap sahur.
“Suara itu memang terkadang menjengkelkan, namun itu lebih efektif dari alarm jam,” kata Sri Rahayu, 46, warga Desa Kemanukan, Bagelen, Purworejo, Senin (4/6).
Kehadiran anak-anak muda yang bergiat di grup kesenian kuda lumping Turonggo Mudho Budoyo itu memang amat membantu. Dari lima pedukuhan yang ada di Kemanukan, setidaknya tiga pedukuhan mereka sapa.
Makin terpinggirkannya kentongan bambu, pemuda yang masih berstatus sebagai pelajar dan mahasiswa itu menggunakan peralatan tabuhan kuda kepang. Dari sekian banyak alat, mereka membawa sebuah drum besar dan kecil, serta dua kenong.
Tidak sekadar memukul, mereka juga berusaha menyelaraskan suara yang keluar sehingga tetap terdengar apik dan rampak. “Kami memang berlatih dulu sebelum nekat jalan tengah malam seperti
ini,” kata Tatas Pradika, 23, yang memiliki ide membangunkan sahur
itu.
Kerapnya bersinggungan dengan peralatan dan kebersamaan di antara pemuda ini memang memudahkan untuk mengkolaborasikan pukulan suara. Tak jarang, lagu-lagu campursari dan dangdut diperdengarkan. “Kalau seperti ini yang ada ya hanya senang saja. Kami tidak memiliki beban apa-apa,” tambahnya.
Hanya karena terbentur dengan keseharian mereka, kegiatan itu belum dilakukan sejak awal puasa. Baru di malam hari libur, mereka berkumpul dan berjalan.
“Kami baru bisa maksimal setelah rampung tes akhir semester kemarin. Sebelumnya tidak berani, takut yang masih pelajar jadi terganggu,” katanya.
Pemuda yang lain, Slamet mengatakan kotekan bersama itu baru dilakukan di tahun ini. “Dari awal puasa ini sebenarnya sudah dirancang, tapi masih banyak kendala. Jadi memang baru bisa fokus di pertengahan puasa,” katanya.
Hal lain yang juga membuat mereka senang karena tidak sedikit warga mau berbagi sekadar makanan ringan saat mereka jalan. Sesekali ada juga yang telah mempersiapkan nasi bungkus untuk mereka bersantap sahur.
“Kalau sudah ada nasi bungkus, otomatis kami sudah tidak sahur di rumah lagi. Karena kita makan bareng di balai desa,” ujar Slamet. (laz/mg1)