SAVEAGNI: Puluhan mahasiswa menandatangani petisi untuk UGM, demi keadilan bagi Agni. (GUNTUR AGA TIRTANA/RADAR JOGJA)

JOGJA – Universitas Gadjah Mada (UGM) terus didesak oleh berbagai pihak untuk menuntaskan kasus dugaan pelecehan seksual yang dialami mahasiswinya ke ranah hukum. Demi keadilan bagi penyintas, Agni (bukan nama sebenarnya). Yang mengalami pemerkosaan saat mengikuti kuliah kerja nyata di Pulau Seram, Maluku pada pertengahan 2017. Oleh rekannya sendiri, HS, dari fakultas teknik.

Rektor UGM Panut Mulyono berjanji membawa kasus tersebut ke ranah hukum. Dengan catatan langkah tersebut didasari kesadaran semua pihak. Alasannya, baik pelaku maupun penyintas sama-sama mahasiswa UGM. Penyelesaiannya pun harus memenuhi unsur keadilan bagi keduanya. “Dua-duanya (penyintas dan pelaku) itu anak kami. Kami ingin menyelesaikan dengan pola-pola yang mendidik. Agar dua-duanya mendapat pelajaran tapi jangan ada yang dihancurkan,” ungkapnya Kamis (8/11).

Panut tak menampik rekomendasi tim investigasi internal belum selesai dijalankan. Namun, sebagai institusi pendidikan, Panut mengklaim, UGM mampu menyelesaikan perkara tersebut.

GRAFIS: HEPRI (KARTUN/RADAR JOGJA)

Salah satu langkah yang diambil dengan menunda kelulusan HS hingga satu semester ke depan. Dengan begitu, HS batal diwisuda bulan ini. “Artinya, sanksi (HS, Red) tidak harus dipecat (drop out). Lagi pula di rekomendasi itu tidak ada untuk di-DO,” katanya. Panut menegaskan, kasus itu dilihatnya secara komprehensif. Dengan esensi mendidik.

Adapun rekomendasi tim investigasi internal meliputi tiga aspek. Yakni pemberian sanksi bagi pelaku, perlindungan bagi penyintas, serta perbaikan tata kelola KKN.

Kasus yang dialami Agni menuai empati banyak kalangan. Siang kemarin ratusan mahasiswa menggelar aksi solidaritas di halaman Fisipol UGM. Mengusung tagar #kitaAGNI. Mengangkat tema: UGM Darurat Kekerasan Seksual. “Aksi ini menjadi puncak keresahan mahasiswa UGM atas belum terselesaikannya kasus dugaan pemerkosaan yang dialami penyintas,” ujar narahubung #kitaAGNI Cornelia Natasha. Menurutnya, Agni tidak mendapatkan keadilan. Sementara pelaku yang siap melenggang menuju wisuda. “Namanya (pelaku) tercantum dalam daftar wisudawan November ini,” bebernya.

Massa yang hadir meniupkan peluit dan memukul kentongan. Sebagai simbol tanda bahaya. Mereka membentuk formasi melingkar. Mengelilingi baliho besar bertuliskan petisi untuk UGM. Di baliho itulah mereka bergiliran menandatangani petisi tersebut beserta nama dan nomor induk mahasiswa.

“Kami akan terus bersuara jika kampus tidak adil dan transparan dalam penyelesaian kasus itu,” ancamnya. Natasha menyatakan akan ada aksi lanjutan. Dengan gerakan massa lebih besar.

Desakan kepada UGM juga disuarakan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai. Menurut Haris, kasus tersebut wajib diselesaikan ke ranah hukum. Selain untuk memberikan efek jera kepada pelaku. Juga demi keadilan bagi korban. Selain itu sebagai pembelajaran bagi perguruan tinggi dalam mengelola kegiatan akademik.

“Itu kegiatan resmi kampus lho. Kenapa bisa sampai terjadi kasus perkosaan,” ujarnya di Royal Ambarrukmo Hotel kemarin. Haris mempertanyakan pengawasan dan perencanaan kegiatannya. Karena baik pelaku maupun penyintas mengikuti KKN resmi dari kampus. “Mereka dikirim ke tempat yang jauh tapi ternyata tidak ada perlindungan,” sindirnya.

Menurut Haris, perkara tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab pelaku. Pihak kampus juga turut bertanggung jawab. Untuk segera menginvestigasi kasus itu, melindungi korban, dan menindak tegas pelaku.

Haris mengaku siap mendampingi korban. Hanya komunikasi dengan korban belum intens. Ini terkait kondisi psikologis dan kesiapan korban menerima pendampingan.

Kendati demikian, Haris mendorong penegak hukum segera bertindak. Mendasarkan pasal 285 KUHP, Haris menilai kasus tersebut bukan tergolong delik aduan. Kepolisian bisa memproses kasus perkosaan meski tanpa persetujuan pelapor atau korban.

Hal senada disampaikan Kadiv Humas Jogja Police Watch (JPW) Baharuddin Kamba. Dia mendorong polisi segera bertindak. Alasannya, kasus yang menimpa Agni menambah daftar panjang kasus dugaan pelecehan seksual di dunia pendidikan. Jika tak ditindak secara hukum, kata Kamba, kasus pelecehan seksual hanya jadi fenomena gunung es.”Boleh jadi banyak korban pelecehan seksual di dunia pendidikan. Mereka tak berani lapor karena ketakutan,” katanya.

Kamba menilai, kasus tersebut tak cukup diselesaikan di tingkat internal kampus. kepolisian harus mengusut tuntas kasus itu ke ranah hukum.
Menurut Kamba, polisi tak bisa hanya berpangku tangan hanya dengan alasan tak menerima laporan dari korban. “Alasan ini tidak dapat dibenarkan karena kasus pelecehan seksual jelas ada korban dan ada pelanggaran hukum. Jadi, harus masuk ranah pidana,” tegasnya.

Kamba juga mengingatkan kasus serupa yang pernah menimpa seorang dosen bergelar doktor di UGM. Yang juga pernah melakukan dugaan pelecehan seksual terhadap mahasiswa pada medio 2015-2016. Namun dosen tersebut hanya dijatuhi sanksi administrasi. Berupa pembebastugasan mengajar. “Itulah hasilnya jika penyelesaian kasus pelecehan seksual hanya oleh kampus. Tidak ke ranah hukum,” sindirnya.

JCW juga mendesak Kemenristekdikti ikut bertanggung jawab atas kasus pelecehan seksual terhadap mahasiswi Fisipol UGM. Menyerahkan penyelesaian kepada pihak kampus, kata Kamba, seolah-olah Kemenristekdikti “lempar handuk” atas persoalan itu.

Sementara itu, Kabid Humas Polda DIJ AKBP Yuliyanto berdalih lembaganya bukan tak mau menyidik kasus yang dialami Agni. Dia menegaskan, penyidikan harus didahului adanya laporan ke polisi. “Kalau sudah ada laporan kami bisa bergerak meski tanpa persetujuan korban maupun pelapor,” jelasnya. Sejauh ini belum ada laporan dari penyintas maupun pihak UGM. (tif/dwi/yog/fj/mg3)