Empat panitia khusus (pansus) DPRD Bantul baru saja menyelesaikan tugasnya. Salah satunya Pansus Pengawasan Dana Desa (DD). Pansus yang beranggotakan Komisi A ini secara khusus bertugas mengawasi penganggaran dan realisasi DD. Juga memastikan apakah 30 persen DD di 75 desa se-Bantul sudah dialokasikan untuk padat karya tunai atau belum.

REKOMENDASI PANSUS: Heru Sudibyo, juru bicara Pansus Pengawasan Dana Desa Heru (kanan) menyerahkan hasil laporan pansus kepada Bupati Bantul Suharsono. (SEKRETARIAT DPRD BANTUL FOR RADAR JOGJA)

Menurut Ketua Pansus Pengawasan Dana Desa Padat Karya Tunai Endro Sulastomo, tugas pansus ini sebagai tindak lanjut penandatanganan surat keputusan bersama (SKB) empat menteri. SKB yang diteken Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa, Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi, serta Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional ini mengamanatkan bahwa 30 persen DD harus dialokasikan untuk padat karya tunai. Tujuannya, DD yang diterima setiap desa bisa membawa dampak peningkatan kesejahteraan warga. Juga mampu mengentaskan angka kemiskinan. Sebab, padat karya tunai melibatkan warga sebagai pekerja. Terutama, warga yang masih berada di bawah garis kemiskinan.
”Ketentuan ini harus dipenuhi,” tegas Endro di ruang kerjanya pekan lalu.

Ada tiga desa yang diambil sebagai sampel oleh pansus. Yaitu, Desa Argodadi, Desa Srihardono, dan Desa Sumberagung. Desa Argodadi dijadikan sampel sebagai representasi wilayah Bantul barat, Desa Srihardono mewakili Bantul tengah, lalu Desa Sumberagung dari Bantul barat.

Saat pengambilan sampel, pansus mengundang lurah, perangkat desa, hingga tim pengelola kegiatan (TPK). Juga beberapa organisasi perangkat daerah (OPD) terkait. Seperti inspektorat dan bagian administrasi pemerintahan desa.

Dari hasil pengawasan di tiga desa, politikus PDI Perjuangan ini memastikan, pemerintah desa (pemdes) telah mengalokasikan DD dengan baik. Sesuai dengan ketentuan SKB. Dengan kata lain, 30 persen DD di tiga desa ini telah dialokasikan untuk padat karya tunai.

”Begitu pula dengan 72 desa lainnya,” ucapnya.

Dari pengawasan di tiga desa ini pula diketahui, bentuk program padat karya tunai di setiap desa beragam. Yang paling banyak adalah pembangunan drainase, cor blok, dan bangket.

Namun, pansus juga menemukan fakta lain di lapangan: upah yang diberikan pekerja terlalu kecil. Upah yang dialokasikan untuk pekerja rata-rata hanya di kisaran Rp 65 ribu per hari. Imbasnya, para pekerja yang notabene warga lokal mbesengut, sehingga persoalan standar upah harus dicarikan solusi.
”Karena standar upah buruh bangunan Rp 90 ribu per hari. Tukangnya Rp 120 ribu per hari,” sebut Heru Sudibyo, juru bicara pansus.

Guna merumuskan standar upah, kata Heru, pansus melakukan studi komparasi di Madiun, Jawa Timur. Di sini, upah dalam program padat karya tunai ternyata beragam. Disesuaikan dengan kondisi desa masing-masing. Yang pasti, upah telah sesuai dengan standar.

Dari hasil studi komparasi ini, politikus Partai Golkar ini memastikan, upah dalam padat karya tunai di Bumi Projotamansari bisa diubah. Syaratnya, TPK mengajukan surat permohonan kepada bupati Bantul.”Pak bupati sendiri sudah memberikan lampu hijau,” katanya.

Kendati begitu, bekas lurah Gilangharjo ini menyebut ada persoalan lain dalam program padat karya tunai. TPK beberapa desa kesulitan mencari pekerja. Sesuai dengan kriteria kebutuhan di lapangan. Dari itu, pansus pun merekomendasikan agar pemkab intens memberikan pendampingan. Agar pemdes dapat memprioritaskan penggunaan DD untuk kegiatan pembangunan desa yang bersifat produktif dan berkelanjutan secara ekonomi. Misalnya, penggunaan DD untuk pengembangan produk unggulan kawasan pedesaan.
”Agar penanggulangan kemiskinan terus berjalan,” tambahnya. (*/zam)