JOGJA – Kota Jogja dan Bangkok di Thailand memiliki karakteristik yang mirip. Tapi di ibukota Thailand itu bangunan cagar budaya bisa dilestraikan. Bahkan menjadi daya tarik wisata. Hal yang sama diharapkan dapat diterapkan di Jogja.
Tim Ahli Pelestarian Cagar Budaya (PCB) Kota Jogja Revianto B Santosa mengatakan secara karakteristik sejarah, antara Bangkok dengan Jogja umurnya hampir sama. Berkembang sekitar tahun 1.700an. “Bekas gudang beras di Bangkok bisa jadi daya tarik wisatawan. Bisa jadi bagian kota yang hidup dan menghidupi. Jadi pilihan warga berwisata,” ungkapnya dalam forum group discussion (FGD) di Hotel Royal Darmo Malioboro, Rabu (28/11).
Padahal, lanjut dia, di Kota Jogja banyak bangunan yang masuk cagar budaya. Karena itu peran cagar budaya penting untuk membentuk karakter Jogjakarta. “Melestarikan dan merawat itu pilihan untuk masa depan,” katanya.
Revi menjelaskan, cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan. Berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs dan kawasan cagar budaya. Dilestarikan karena mempunya nilai penting bagi perkembangan sejarah, pendidikan, agama dan kebudayaan. Itu ada dalam UU Cagar Budaya No 11 tahun 2010.
Pembuatan bangunan baru di kawasan cagar budaya, penyelesaian bentuk bangunan, langgam bangunan dan rinci bangunan perlu diselaraskan dengan bangunan lama. Di situlah peran Disbu memberikan arahan agar bangunan baru selaras dengan bangunan kiri-kananya. Tetap menjadi pusat kehidupan warga. “Sinergi antarpihak pemerintah, swasta, masyarakat dan kalangan pendidikan diperlukan,” jelasnya.
Sementara itu anggota DPRD Kota Jogja Komisi D Suryani mengatakan, merawat bangunan cagar budaya memang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Jika sudah ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya, masyarakat perlu memahami aturanya kaitanya implementasi hukum. “Dalam Perda DIY No 6 tahun 2012, BCB dapat dikembangkan, revitalisasi agar tidak menghancurkan bangunan cagar budaya,” katanya.
Suryani mengatakan, pada 2017 Kota Jogja memberikan penghargaan bagi rumah yang ditetapkan bangunan rumah cagar budaya. Berupa sertifikat dan uang Rp 10 juta. Namun hal itu belum bisa merawat secara menyeluruh. Sebab ada warga yang mempunyai rumah bangunan cagar budaya tapi tidak siap mengurus.
Peserta diskusi, Supardi dari Ndalem Notoyudan mengatakan tahun ini telah dimulai pemeliharaan rehabilitasi cagar budaya di Ndalem Notoyudan. Dia berharap kegiatan tersebut selesai tepat waktu. “Untuk rehabilitasi apakah akan berlanjut selesai semua, karena luas sekali. Saat ini pendopo dan pokonya belum. Termasuk balai RW juga termasuk Ndalem Notoyudan. Setiap tahun itu tempat nguri-uri kabudayan,” ungkapnya.
Kepala Disbud Kota Jogja Eko Suryo Maharso menanggapi, Ndalem Notoyudan sudah dibangun, karena yang menetapkan sebagai cagar budaya walikota sesuai tingkatan. Biayanya dibantu dari Pemkot Jogja. Statusnya beda dengan Pujakesuman yang ditetapkan menteri.
“Keuntungannya karena ditetapkan Pemkot maka Pemkot dapat cawe-cawe untuk membantu,” tuturnya. (riz/pra/zl/mg3)