Waktu kecil saya bukan termasuk penonton setia film-fim horor baheula Suzzanna. Kalaupun nonton ya cuma ikut-ikutan kehebohan sekitar, bukan karena bertolak dari hati kecil yang terdalam. Halah. Jadi, menonton film daur ulang Suzzanna kali ini rasanya seperti mereka ulang alasan kenapa kehebohan saat itu mesti terjadi.

Set film versi daur ulang kali ini adalah tahun 1989. Penonton ujug-ujug dibawa ke dalam kehidupan pasangan Satria-Suzzanna. Pasutri yang tiba-tiba terisap ke dalam momen bahagia, sebab si ibu hamil setelah penantian sekian tahun ini, segera dihadapkan pada serangan eksternal yang akhirnya memantik teror kreasi Suzzanna.

Ringkasnya, meski berkeberatan terhadap pimpinan perusahaan, si suami alias Satria akhirnya pergi dinas ke luar negeri. Suzanna ikhlas ditinggal bersama trio kru pembantu di rumah nan elite di zamannya.

Di suatu malam Minggu ketika Suzanna bersama trio pembantunya menonton layar tancap di, katakanlah, lapangan dekat balai desa, empat orang yang bukan lain merupakan anak buah Satria yang sakit hati karena protes kenaikan gajinya tak digubris siap merampok rumah atasannya itu.

Suzanna yang sedang hamil muda tiba-tiba merasa tak enak badan dan pulang sendirian meninggalkan trio pembantunya nonton. Setiba di rumah setelah melalui adegan petak umpet berkepanjanga akhirnya terjadi hal yang ditunggu-tunggu yakni tewasnya Suzanna secara kebetulan. Jasadnya dikubur. Lalu, jadilah Suzanna sebagai sundel bolong yang meneror empat bawahannya Satria tadi. Dalam adegan teror demi teror inilah, mungkin saja, dinamit film lama terletak.

Sebagai penonton yang pernah menonton karya si sutradara, Anggy Umbara (kali ini bersama Rocky Soraya), lewat daur ulang Warkop DKI, saya cukup takjub dengan karya yang ada karena sejak awal film Suzanna daur ulang ini cukup tampil percaya diri dan meyakinkan.

Ilustrasi yang dipakai sebagai adegan pengantar berselip perkenalan nama-nama pemerannya itu dibuat bergaya tapi pantas. Memang ada semacam keraguan langkah-langkah kecil di babak konteks,tapi itu lumrah karena menurut saya memang salah satu bagian tersulit dlm kesatuan narasi film adalah pembuka.

Setelah konteks terceritakan, film mulai betul-betul menikmati waktunya. Ia tak buru-buru dan biarkan penonton terhanyut dalam adegan semacam petak umpetnya. Memang tak sampai membuat penonton terkaget dan tertekan, tapi sedikit kengerian masih dapat dibangun dgn memanfaatkan premis dasarnya secara baik, yakni seorang istri yang sendirian sedang dikelilingi lelaki-lelaki bangsat. Poin plusnya, untung film ini berset akhir 1980an, ketika suasana kampung masih ngampung. Jadi, kengerian suasana secara alamiah tetap relevan.

Walau usaha Luna Maya sungguh terasa kuat untuk memersiskan dirinya seperti Suzzanna, tetap saja ada rasa dipaksakan di sana. Cengingis-cengingis tipis nggak jelas itu hanyalah milik Suzzanna. Jumpalitan ditirukan oleh siapa pun tetap saja bakal terasa wagu. Bagiku, mendingan bikin saja Suzzanna interpretasi baru dengan tetap mengambil benang merahnya seperti wajah Indo dan wajah kurang ekspresif ketika masih jadi manusia.

Yang membuat saya cukup terhindar dari rasa bosan dalam menonton film ini adalah cipratan komedi yang sengaja ada untuk mempertahankan khitah film lama. (ila)

*Penulis adalah penggemar film dalam negeri dan penikmat The Chemical Brothers yang bermukim di Jogja Utara.