SLEMAN – Dunia kenakalan remaja tergolong dinamis. Berdasarkan penelusuran Radar Jogja, semangat primodialisme tergolong tinggi. Inilah yang menyebabkan perasaan superior muncul. Menganggap kelompok lain sebagai ancaman, bahkan sosok yang awalnya teman.
Koran ini berhasil mengorek pola pergerakan kenakalan remaja saat ini. Penculikan terjadi ketika ada sosok yang tidak disukai. Sosok ini bisa berasal dari luar kelompok atau anggota kelompoknya sendiri. Bahkan tidak menutup kemungkinan sasarannya teman sepermainan.
“Misal, si A sering kumpulnya dengan kelompok A, tiba-tiba dia main dengan kelompok B. Pemimpin dari kelompok A ini tidak terima, sehingga menyusun sebuah rencana penculikan. Ini juga berlaku jika ada orang yang tidak disukai,” jelas sosok yang namanya enggan dikorankan ini.
Aksi penculikan berjalan secara halus. Biasanya diawali dengan ajakan untuk kumpul atau nongkrong bareng. Usai ajakan berhasil, target dibawa ke suatu tempat. Di lokasi itu ternyata telah berkumpul anggota kelompok tersebut.
Sosok ini menceritakan target akan ditantang berkelahi. Awalnya tantangan itu dilakoni berdua. Naasnya, tantangan ini hanya sebuah siasat. Anggota kelompok lain akan turut menganiaya sang target. Bahkan aksi ini tidak mempedulikan posisi sportivitas duel man to man.
Aksi duel ternyata belum berakhir. Sang target mendapatkan denda dari kelompok. Denda berupa membayar nominal uang. Ada pula denda untuk menyetorkan sejumlah botol minuman beralkohol.
“Denda nominal uangnya dan jumlah minuman bervariasi. Tapi biasanya, kalau uang sampai ratusan ribu. Ada jangka waktu untuk melunasi waktu, biasanya 10 hari. Mulai tren kisaran 2018 kemarin,” ujarnya.
Jika tidak melunasi denda, target akan terus diincar. Mulai dibuntuti rutinitas, tempat nongkrong hingga pertemanan. Bahkan untuk mengancam target, kelompok juga mengincar temannya. Tujuannya dijadikan sebagai jaminan apabila target tidak segera melunasi denda.
“Kalau tidak bayar, belum selesai dan terus diincar. Pergerakannya dipantau terus sampai teman-temannya juga ikut jadi korban,” bebernya.
Sosok ini juga menceritakan tata urutan sebelum beraksi. Untuk aksi jalanan, biasanya berlangsung dalam kelompok. Ada pembagian peran, mulai dari joki motor, eksekutor hingga pelindung. Untuk sosok eksekutor ada dua tipe, fighter dan psikopat.
Psikopat, lanjutnya, akan turun dalam target-target tertentu. Sosok ini ditunjuk karena memiliki nyali besar. Bahkan tidak memiliki rasa takut saat beraksi. Sosok ini juga bercerita, tidak mudah untuk keluar dari kelompok. “Kalau keluar dari geng harus keluar kota. Akan jadi target karena dianggap sudah tidak sejalan dengan kelompok,” ujarnya.
Dirreskrimum Polda DIJ Kombespol Hadi Utomo memastikan jajaranya tegas. Baginya aksi kriminal bisa dikenai sanksi tegas. Dia menjamin pelaku bawah umur tetap bisa dikenakan aturan yang sama. Hanya saja penanganan beracuan pada Undang-Undang Perlindungan Anak.
Berdasarkan catatan Polda DIJ, medio 2018 ada 49 kasus kriminalitas dengan konsep penganiayaan. Pelakunya rata-rata usia remaja, bahkan di bawah umur. Seluruhnya telah ditangani dengan tuntas. Bahkan para pelaku juga mendapatkan sanksi tegas.
Dalam kesempatan ini, Hadi juga menjabarkan fakta lainnya. Para pelaku, memiliki motif dalam beraksi. Meski tidak masuk akal, tetap menjadi materi penyidikan. Mulai dari tersinggung saat bertatap mata, hingga pelarian atas permasalahan di rumah.
“Dari 49 kasus itu 90 persen pelakunya ditangkap upaya paksa di rumah orangtuanya. Artinya usai beraksi mereka tidak kabur, tapi pulang ke rumah. Pertanyaannya, apakah orang tua tidak menyapa atau curiga saat anaknya pulang ke rumah,” katanya.
Tidak hanya menyasar pelaku lapangan, perwira menengah ini juga menarget para dedengkot. Sosok-sosok yang diduga menjadi pelindung suatu kelompok. Dia juga tengah berkoordinasi dengan Ditresnarkoba. Ini karena rata-rata pelaku mengonsumsi mihol dan narkotika sebelum beraksi.
“Kalau kami lebih setuju menyebut ini sebagai penganiyaan daripada klithih. Motifnya mulai tersinggung saat bertatap mata hingga pelampiasan rasa kecewa di rumah,” ungkapnya. (dwi/laz/fn)