MEDIA SOSIAL (medsos) telah menjelma menjadi kekuatan dahsyat nan luar biasa dalam pembentukan opini publik di era digital dewasa ini. Dibandingkan dengan media konvensional ataupun tercetak, medsos mempunyai potensi lebih cepat dalam produksi dan diseminasi informasinya. Bahkan, hanya sekali klik, secepat kilat informasi di medsos mampu menjalar tanpa sekat batas geografis.

Dengan keunggulan yang demikian, tentu medsos dapat berperan dalam memajukan literasi cinta damai. Namun meskipun begitu, ibarat dua sisi mata uang logam, medsos juga dapat berpotensi sebaliknya, menjadi perusak informasi di dunia maya. Tumpah ruahnya informasi yang tak terkendali, bisa menjadi penebar virus ujaran kebencian.

Seirama dengan denyut nadi perkembangan teknologi, ujaran kebencian malah justru semakin marak lagi mengerikan. Manakala ujaran kebencian sudah sedemikian brutal, perang melawannya bulan lagi soal akalsehat atau kecanggihan teknologi, akan tetapi cara-cara halus dengan menanamkan kesadaran serta pendidikan literasi. Apalagi, dewasa ini pelaku ujaran kebencian bukan hanya simpatisan kelas teri, melainkan juga pejabat kelas elite.

Oleh karenanya, sebagai generasi digital natives, sudah saatnya menjadikan medsos sebagai sarana ”Pendidikan Literasi Cinta Damai”. Caranya ialah menggunakan medsos secara bijak dengan memproduksi, mengakses, dan menyebarkan informasi yang sehat. Konten medsos terkait ujaran kebencian, adu domba, dan kampanye hitam harus dihindari. Kita harus kampanyekan konten-konten positif ujaran kasih sayang. Kita jangan mudah terprovokasi emosional untk menyebarkan ujaran kebencian.

Lebih lanjut, medsos sebagai corong publik harus bisa hadir sebagai mitra, bersimbiosis mutualisme dengan pemerintah, rakyat, perusahaan  IT, programer, dan praktisi IT lainnya. Semua entitas itu dapat bekerja sama untuk memberantas ujaran kebencian di jagat maya ataupun di medsos. Mengingat, Jurgen Habermas dalam Stucturwandel der Offentlichkeit mengungkapkan bahwa ruang publik bisa menjembatani antara negara dengan masyarakat sipil.

Seiring dengan berjalannya waktu, medsos yang merupakan ruang publik paling populer perlu adanya pendidikan literasi cinta damai dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dalam keluarga orang tua harus mampu menjadi kontrol anak-anaknya dalam bermedsos. Anak dididik sedini mungkin untuk mengakses informasi positif bernuansa kebangsaan dan pesan-pesan damai.

Pendidikan literasi cinta damai di sekolah bisa dilakukan dengan menggencarkan budaya literasi cinta damai. Revolusi dalam pendidikan literasi cinta damai juga dapat dilakukan dengan langkah konkrit seperti membaca kritis dan menulis etis. Fisher (1993) berujar, literasi merupakan kegiatan membaca-berpikir-menulis. Artinya kita dalam membaca informasi di medsos bukan sekadar membaca, akan tetapi menganalisis, mengkritisi, dan evaluasi mana informasi positif mana informasi provokatif, sehingga informasi yang kita dapatkan benar-benar bernuansa cinta damai. Pun demikian dalam kita menulis segala sesuatu di jagat maya, informasi yang kita tabur bukanlah ujaran kebencian, tetapi ujaran cinta damai.

Kalau membaca dan menulis kritis telah dilakukan maka informasi yang kita bagikan pun adalah informasi yang sejuk dan damai. Ruang gerak ujaran kebenciaan justru akan mudah kita putus dan tutup dengan adanya membaca dan menulis kritis. Semua itu tentunya membutuhkan suatu gerakan pendidikan literasi cinta damai yang masif di jagat maya atau medsos.

Sementara, pendidikan literasi cinta damai di masyarakat jagat maya dilakukan dengan kampanye (ajakan) membudayakan literasi cinta damai dan anti-ujaran kebencian. Budaya literasi tersebut dapat dilakukan dengan memviralkan konten-konten positif yang sejuk yang banyak manfaatnya bagi persatuan dan kesatuan bangsa. (ila)

Peneliti pada Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan UIN Sunan Kalijaga