JOGJA – Hujan deras dalam beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana hidrometeorologi di sebagian wilayah DIJ. Tanah longsor paling mendominasi. Di Kabupaten Gunungkidul sedikitnya ada delapan kejadian tanah longsor. Seperti di Jalan Ngampelombo, Sumbergiri, Ponjong. Talud jalan ambrol menyebabkan akses lalu lintas kendaraan di kawasan tersebut terganggu.

Material tanah dan batu longsoran merusak lahan jagung milik warga setempat.
Kejadian lain di Geger, Pengkol, Nglipar. Material longsor menghantam tembok rumah milik Jumingan hingga ambrol. Korban sekeluarga mengungsi di tempat saudara.

Berikutnya di Buyutan, Ngalang, Gedangsari. Tercatat empat kejadian longsoran. Tanah dan batu yang longsor menyebabkan dinding Musala Al Hidayah jebol. Lalu di jalan dusun setempat. Akses tertutup material tebing yang longsor dari ketinggian 30 meter sepanjang 10 meter. Ketebalan tanah longsoran sekitar 1 meter.

Selanjutnya tanah longsor di samping rumah milik Mariyah sepanjang sekitar 5 meter dan tinggi 4 meter. Mengenai dinding samping rumah dan merusak satu unit sepeda motor pemilik rumah. Tanah longsor juga menimpa rumah Supardi. Material longsoran tidak hanya tanah. Bahkan membawa batang-batang pohon, sehingga menyebabkan rumah korban rusak cukup parah.

“Tim reaksi cepat (TRC) sudah bertindak. Membantu warga membersihkan material longsor dan mengirim logistik makanan,” ujar Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Gunungkidul Edy Basuki Rabu (23/1).

Warga gerbosari, Samigaluh, Kulonprogo membersihkan sisa material longsor yang menimpa pekarangan rumahnya. (RADAR JOGJA FILE)

Menurut Edy, Gunungkidul memiliki tujuh wilayah kecamatan rawan longsor. Meliputi: Purwosari, Gedangsari, Patuk, Nglipar, Ngawen, Semin, dan sebagian Ponjong. Kawasan tersebut rawan longsor lantaran kondisi geografisnya berada di lereng pegunungan.

Berdasarkan data bencana 2017 jumlah kejadian tanah longsor terbanyak terjadi di empat kecamatan. Antara lain: di Gedangsari ada 34 kejadian, Patuk (14), Nglipar (14), dan Ponjong (23). “Ada juga longsor di Tepus, Semin, Karangmojo tapi intensitasnya kecil,” ungkap Edy.

Untuk mengantisipasi terjadinya korban jiwa, BPBD Gunungkidul telah memasang sedikitnya 30 alat early warning system (EWS). Hanya 2 EWS di Desa Tegalrejo dan Watugajah, Gedangsari rusak pada bagian akinya. “EWS penting dipasang, terutama di lokasi banyak permukiman penduduk,” ucapnya.
Selain Gunungkidul, Kabupaten Kulonprogo juga masuk kawasan rawan tanah longsor di DIJ. BPBD setempat mencatat sedikitnya 49 kejadian sejak tiga bulan terakhir. Mayoritas terjadi di wilayah Kecamatan Kokap, Girimulyo, Samigaluh, dan Kalibawang.

Sejauh ini masih ada satu titik longsor yang sulit ditangani. Yakni di ruas jalan antardusun Gedong – Gendu di Desa Purwosari, Girimulyo. “Ada tebing setinggi 15 meter di samping jalan yang longsor. Material longsor belum bisa dievakuasi,” ungkap Kepala Pelaksana BPBD Kulonprogo Ariadi Rabu (23/1).

Kondisi itu memaksa warga setempat harus memutar lebih jauh ke jalan lain saat beraktivitas. Karena jalur longsor tidak bisa dilewati kendaraan. Ariadi pesimistis bisa melakukan perbaikan jalan dalam waktu dekat ini. Sebab, kondisi tanah di sekitar lokasi longsor labil. Juga sangat berisiko longsor. “Kami tidak berani ambil risiko,” katanya.

Sejak longsor pertama kali pada November 2018, lanjut Ariadi, hingga kemarin tercatat empat kali longsor susulan di lokasi yang sama. Kendati demikian, peristiwa itu tidak membuat warga setempat terisolasi. Masih ada akses jalan lain walaupun lebih jauh.

(GRAFIS: ERWAN TRI CAHYO/RADAR JOGJA)

Untuk perbaikan jalan tersebut telah disiapkan dana Rp 3,6 miliar lewat pos biaya tak terduga APBD Kulonprogo 2019. Meski demikian, Ariadi mengimbau masyarakat bersabar. Mengingat risiko yang tinggi.

Kepala Desa Purwosari Purwito Nugroho menggaku telah mengerahkan berbagai upaya dan tenaga untuk membersihkan material longsor. Namun tetap tak berhasil. “Tak bisa tuntas kalau manual. Butuh bantuan alat berat,” katanya.
Terpisah, Kepala Stasiun Klimatologi, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Jogjakarta Agus Sudaryatno mengatakan, pantauan radar cuaca menunjukkan potensi bencana hidrometeorologi seperti longsor, banjir, dan angin kencang diperkirakan hingga 30 Januari mendatang.

Berdasarkan hasil analisis dinamika atmosfer Selasa (22/1) terdapat aliran massa udara basah dari Samudra Hindia ke Pulau Jawa. Bersamaan dengan itu masih kuatnya monsun dingin Asia beserta hangatnya suhu permukaan laut di wilayah perairan Indonesia menyebabkan tingkat penguapan dan pertumbuhan awan cukup tinggi.

Dari pantauan pergerakan angin, Agus mendeteksi adanya daerah pertemuan angin yang konsisten. Bahkan dalam beberapa hari terakhir lokasinya memanjang dari wilayah Sumatera bagian selatan, Laut Jawa, Jawa Timur, Bali, dan terus ke timur hingga NTB dan NTT.

Agus menjelaskan, ada tiga bibit badai tropis yang tumbuh di dekat wilayah Indonesia. Salah satu bibit siklon yang terus diamati di Laut Timor. Berpotensi meningkat menjadi siklon tropis. “Diprediksi potensi terbentuknya siklon ini hingga besok (hari ini),” ungkapnya.

Menurut Agus, beberapa hari ke depan potensi cuaca ektrem bisa terjadi di beberapa wilayah DIJ. Hujan dengan potensi sedang dan lebat disertai angin kencang. Dengan kecepatan di atas 46 kilometer per jam.

Wilayah yang berpotensi terdampak cuaca ekstrem meliputi : Kulonprogo (Kalibawang, Samigaluh, Girimulyo, Nanggulan, Kokap, Temon, Panjatan, Wates, dan Galur); Sleman (Turi, Cangkringan, Pakem, Tempel, Sleman, Ngaglik, Ngemplak, Seyegan, Minggir, Depok, dan Kalasan); lalu Gunungkidul (Nglipar, Ngawen, Gedangsari, Patuk, dan Semin). Kemudian Bantul (Piyungan, Banguntapan, Kasihan, Sanden, Srandakan, dan Kretek). “Serta seluruh wilayah Kota Jogja juga harus waspada,” ingatnya.

Masyarakat pesisir pantai juga diimbau waspada. Terhadap ancaman gelombang tinggi laut. Potensi gelombang tinggi pesisir selatan DIJ itu berkisar 2,5 – 5 meter.

Kasi Mitigasi Bencana BPBD Sleman Joko Lelono menyatakan, potensi banjir lahar hujan menjadi ancaman utama. Terutama di kawasan sepanjang aliran sungai berhulu di puncak Gunung Merapi. Namun, Joko memprediksi potensi banjir lahar hujan belum tinggi. Mengingat material di puncak relatif sedikit. Sementara cekungan sungai untuk menampung material Merapi masih cukup dalam. Kendati begitu, Joko mengimbau masyarakat pinggir sungai tetap waspada. Khususnya warga bantaran Sungai Gendol, Opak, Kuning, Krapyak, dan Boyong.

Joko mengaku telah menyiapkan 20 EWS di lereng Merapi. Dia memastikan semuanya dalam kondisi baik. “Lokasi EWS untuk lahar dan awan panas di Kali Gendol, Opak, Kuning, Krapyak dan Boyong,” jelasnya. Sedangkan EWS untuk penanda tanah longsor dipasang di 33 lokasi. Terutama di kawasan perbukitan Prambanan. (gun/tom/har/yog/fn)