Darminah, 57 hanyalah seorang guru sekolah dasar (SD). Tapi dia punya harapan besar membawa anak-anak penyandang disabilitas untuk meningkatkan kepercayaan diri membangun harapan agar bisa menjadi sosok yang mandiri.

BUDI AGUNG, Purworejo

Anak-anak penyandang disablitas intelektual yang bernaung dalam Yayasan DIRI (Difabel Intelektual Restu Ibu) binaan Darminah dan suaminya, Ngadirin tampak sedang sibuk menggoreskan kuas di atas kain berwarna putih. Mereka terlihat bahagia dengan kesibukan yang mereka lakukan.

Hanya ada beberapa anak dari total 14 anak yang melakukan aktivitas itu. Dari kegiatan itu mereka berharap akan menjadi orang-orang yang bisa membangun harapan seperti halnya masyarakat normal.

Di balik aktivitas pembuatan batik yang disebut dengan istilah ciprat itu ada sosok yang cukup kuat untuk membawa anak-anak itu berkembang. Ya, Darminah yang menjadi pengajar SD Banyuasin Kembaran ini seolah tidak kenal lelah berjuang agar anak-anak berkebutuhan khusus bisa menghasilkan dari aktivitas mereka.

Bukan pekerjaan yang mudah, anak ketiganya yakni Nunik Tri Mumpuni, 27 menjadi bagian dari anak-anak difabel intelektual ini. Dia baru mendirikan Yayasan DIRI pada 2015 pasca anaknya mendapatkan pembekalan dari Panti di Temanggung dan rumahnya di Dusun Sebelik Rt2/1, Desa Banyuasin Kembaran, Kecamatan Loano menjadi markasnya. “Jadi sebelum 2015, saya terus berusaha agar anak saya itu bisa mendapatkan tempat. Selama ini masyarakat tidak mempedulikan keberadaan anak saya,” kata Darminah, kemarin (28/1).

Pasca mendapatkan pembekalan, dia tergerak untuk membuat sebuah gerakan yang menaungi alumni panti. Setelah berembug dengan orang tua anak-anak, semua sepakat untuk bernaung dalam yayasannya dan melakukan aktivitas bersama.  “Selama ini mereka banyak yang tinggal di rumah saya. Tapi memang tidak semuanya aktif karena tempat tinggalnya cukup jauh. Tapi dari adanya yayasan ini, mereka bisa saling berinteraksi,” imbuh Darminah.

Diberikan kepercayaan, anak-anak sebenarnya juga mampu. Memang waktu yang dibutuhkan cukup panjang jika dibandingkan masyarakat lain. Namun dari hal tersebut, anak-anak ini memiliki ruang untuk bisa percaya diri dan menghasilkan. “Kami memanfaatkan jenis pewarna khusus dan aman bagi anak-anak difabel intelektual ini karena tidak terbuat dari bahan kimia,” tambahnya.

Dalam setiap kegiatan, memang anak-anak tersebut tidak bisa ditinggalkan. Mereka membutuhkan pendampingan dan pengarahan. Hal yang luar biasa adalah saat mereka bisa menjual hasil batik karyanya. Memang tidak bisa semuanya diukur dari kualitas. “Namun penjualan ini menjadi sebuah penghargaan tersendiri bagi mereka,” katanya.

Satu lembar kain batik ciprat dijual seharga Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu tergantung tingkat kesulitan mewarnainya. Soal jumlah produksi, pihaknya memang masih menggantungkan dari pemesanan sehingga belum berani membuat banyak.  “Kami masih promosi dari mulut ke mulut saja belum memanfaatkan online karena terbatasnya SDM,” tambahnya.

Salah seorang pelanggan, Dimas, yang datang untuk membeli batik menceritakan perkenalannya dengan Darminak terjadi sejak empat tahun lalu. Dari pertemuan tersebut disebutkan jika Darminah memiliki usaha yang dikembangkan anak-anak difabel intelektual.  “Dari situ saya tertarik untuk bisa membantu produksi anak-anak ini,” kata Dimas. (din)