SLEMAN – Aksi bullying atau perundungan anak di sekolah, beberapa masih dianggap wajar oleh sekolah. Itu yang membuat para pelaku perundungan tidak mendapat hukuman. Padahal bagi korbannya bisa menimbulkan trauma.

“Ada salah satu sekolah di Jogjakarta, sudah dilaporkan orang tua ke sekolah. Hanya saja, nihil. Sanksi kepada pelaku tidak diberikan,” ujar Ketua Penyelenggara Kegiatan Talkshow Kesehatan Remaja yang digelar oleh Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarajat dan Keperawatan (FKKMK) UGM Istiti Kandarina, Minggu (10/2).

Mengutip data Komnas Perempuan, pada 2018, kekerasan terhadap anak perempuan mencapai 2.227 kasus. Menurut Istiti, ada 42 persen responden yang saat ini telah mengalami cyber bullying. Mudahnya mengakses media sosial dan tidak adanya pengawasan akan menambah korban perundungan.  “Ini hanya contoh kecil, dan pasti masih banya Sekolah yang memiliki siswa korban bullying,” tambah Istiti.

Menurut Ketua Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa UGM, dr. Carla Marchita R, Sp.KJ, menjelaskan perundungan adalah penggunaan kekuatan, ancaman atau paksaan untuk melecehkan dan mengintimidasi. Perilaku yang dilakukan secara terus menerus tanpa adanya teguran atau sanksi dikhawatirkan akan menjadi kebiasaan.

Terkadang, pelaku perundungan merasa tidak sadar bahwa dia melakukan sikap negatif. Hal yang mendasari pada munculnya perbuatan bullying dan kekerasan seksual adalah pelaku yang juga korban bullying. Ingin menunjukkan eksistensi diri, untuk balas dendam atau hanya karena mengikuti.

“Dampaknya bagi korban adalah bisa sampai insomnia, cemas, depresi, anti sosial, bahkan sampai bunuh diri,” kata Carla.

Carla menambahkan, tidak hanya perempuan yang bisa mendapatkan sexual harassment dan perundungan. Pria memiliki porsi yang sama menjadi korban. Untuk pelecehan seksual, Carla menekankan untuk mencatat dan mengingat kejadian. Agar memudahkan untuk melaporkan ke pihak yang berwenang atas tindakan yang tidak menyenangkan.

Hanya saja, ketakutan masyarakat, khususnya siswa saat melihat perundungan dan pelecehan seksual masih cenderung diam. Itu dikarenakan, saksi yang juga takut mendapatkan perlakuan yang sama seperti yang didapatkan oleh korban.

Charla juga menyayangkan, sanksi yang belum ditetapkan bagi pelaku perundungan dan pelecehan seksual di Sekolah. Anggapan bahwa siswa yang melakukan hal tersebut adalah lumrah, masih sering ditemui. “Ada satu Siswa yang setiap harinya barang miliknya diambil dan disembunyikan oleh teman-temannya. Ini bukan lagi lelucon, hal sepele itu bisa berakibat pada anak menjadi depresi dan anti sosial,” tambah Carla.

Pencegahan untuk mengurangi sikap negatif tersebut bisa dilakukan dengan mengatakan tidak saat melihat kejadian. Menghargai diri sendiri dan orang lain, melindungi diri serta melaporkan pada pihak berwajib. (cr7/pra)