BANTUL – Selain disambut wisatawan untuk berburu foto, keberadaan jembatan yang berada di atas Bendungan Kamijoro disambut warga sekitar. Bonyamin mengatakan, sebelum adanya jembatan alternatif Kamijoro, masyarakat membuat jembatan sesek di Manukan. Yang saat ini di sebut Sendangsari. Namun jembatan sesek tersebut terbatas. Hanya dapat digunakan oleh satu kendaraan. Sebagian masyarakat juga memanfaatkan perahu rakit untuk menyeberang. “Tapi jembatannya hanyut terbawa arus,” ungkapnya.

Jalur alternatif itu dibutuhkan warga, sebab jika memutar dibutuhkan sekitar 10 kilometer. Melalui jembatan utama Jl. Wates. Adanya jembatan tersebut memudahkan masyarakat dapat mengakses wilayah satu sama lain. ”Jadi warga tak perlu memutar berkilo-kilo. Menghemat waktu,” ucapnya.

Dia mengatakan jembatan Kamijoro memiliki panjang 180 meter. Dengan lebar antara 2,5 meter hingga tiga meter. Jika masuk dari arah timur atau Desa Triwidadi, maka akan menjumpai saluran DAM di sebelah kanan dan kiri. Ada pintu airnya. Jika dibuka, saluran tersebut akan mengalir ke selatan hingga DAM area Taman Belanda sekitar 250 meter. ”Nah, ini untuk mengaliri lahan pertanian hingga daerah selatan. Wilayah  Serandakan dan sekitarnya,” tuturnya.

Memasuki wilayah Kulonprogo, ada DAM yang nantinya akan terhubung di Bandara Nyia Kulonprogo. Menurut Sugeng, pembuatan saluran DAM itu sudah mencapai dua kilometer. Sekitar DAM, ada gardu teduh, taman-taman kecil dan area parkir. ”Karena masih ada lahan kosong di tanami tanaman buah-buahan. Dulu tanah ini wedi kengser. Dimanfaatkan warga untuk area tanam pakan ternak,” kenangnya.

Bonyamin menambahkan, nama Kamijoro diambil dari nama dusun Kamijoro yang berada di Kelurahan Sendang Sari. Konon, lanjut dia, dalam pembuatan bendungan para pekerja didominasi oleh warga Dusun Kamijoro. “Karena itu orang Belanda menyebutnya Bendungan Kamijoro, meski secara wilayah berada di Desa Triwidadi,” tuturnya.

Bendungan Kamijoro awalnya memang dibangun pada zaman penjajahan Belanda. Ada prasastinya. Dibuat 28 Februari 1924-1939. Dengan tertanda Raja Keraton Jogja saat itu HB VII dan Gubernur Belanda P.W Jonquiere. Pada 2018 dijadikan warisan budaya oleh Gubernur DIJ HB X. Awalnya difungsikan untuk pengairan lahan pertanian.”Orang menyebutnya Dam Kamijoro atau Taman Belanda. Karena di sekelilingnya memang dibuat Taman kecil,” ungkap pria 59 tahun itu. (cr6/pra/tif)