UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial mengamanatkan masyarakat memiliki kesempatan yang luas berpartisipasi dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Peran ini dapat dilakukan oleh perseorangan, keluarga, organisasi keagamaan dan organisasi sosial kemasyarakatan.

Kemudian lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi profesi, badan usaha, lembaga kesejahteraan sosial (LKS) serta LKS asing.
“LKS menjadi salah satu penyelenggara kesejahteraan sosial. Sebenarnya keberadaannya bukanlah hal yang baru,” ujar Anggota Komisi D DPRD DIY Yoserizal SH Minggu (24/2).

Sebaliknya, pelayanan kesejahteraan sosial dipelopori lembaga-lembaga pelayanan kesejahteraan sosial. Dikelola oleh organisasi keagamaan, badan amal atau organisasi lain yang bekerja untuk pelayanan kemanusiaan.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, lembaga-lembaga sosial berafiliasi dengan lembaga keagamaan. Melakukan banyak pelayanan kepada orang-orang miskin, anak-anak yatim piatu, orang cacat dan para lanjut usia.

Dalam perkembangannya semakin banyak lembaga pelayanan kesejahteraan sosial yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat. Berkembangnya LKS tersebut dilatar belakangi semakin besarnya alokasi sumber daya pemerintah yang dialokasikan dalam bidang pelayanan kesejahteraan sosial.

Sejauh ini LKS, kata Yose, berkembang dengan beragam latar belakang dan bidang layanan serta jenisnya. Hal ini dapat dimaknai sebagai perkembangan positif. LKS mampu memberi kontribusi mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi warga masyarakat.

Ini artinya LKS menjadi aktor dan pemangku kepentingan yang memerkuat modal sosial di masyarakat. Namun, memerhatikan perkembangan yang terjadi, tren perkembangan LKS justru banyak semakin bergantung pada sumber daya pemerintah. LKS yang tidak lagi menjalankan proyek sosial pemerintah kemudian tidak lagi bisa bertahan.

Selain itu, kucuran dana yang cukup besar dari pemerintah pusat bukan kemudian membuat LKS mampu memperluas jangkauannya. Yang terjadi, lanjut dia, justru bantuan kemudian tidak sesuai dengan kriteria target grup yang dipersyaratkan.

Bahkan LKS harus kerja keras mencari klien-klien baru yang dipaksakan sesuai dengan kriteria agar bisa mengakses dana pemerintah tersebut. Akuntabilitas pengelolaan dana juga belum terjaga dengan baik. Sedangkan pengawasan dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sangat kurang.

Pengertian LKS itu dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 184 Tahun 2011 Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan penyelenggaran kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh masyarakat. Baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.

LKS yang berbadan hukum adalah organisasi atau perkumpulan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial berbentuk yayasan atau lainnya yang dinyatakan sebagai badan hukum.
Sedangkan LKS tidak berbadan hukum adalah LKS yang belum dinyatakan sebagai badan hukum.

LKS asing adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang didirikan menurut ketentuan hukum yang sah dari negara dan telah mendapatkan izin Pemerintah Republik Indonesia melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial di Indonesia.

Dari pengertian itu, ruang lingkup LKS sangatlah luas. Selama organisasi atau suatu perkumpulan sosial menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial dapat dikategorikan sebagai LKS. Sebuah yayasan keluarga atau perkumpulan sosial berbasis keluarga, etnisitas, agama ataupun kelompok tertentu juga bisa menjadi LKS jika menyelenggarakan pelayanan serupa.

Pemerintah DIY, terang Yose, menaruh perhatian terhadap perkembangan LKS dan memahaminya bukan saja secara teknoktaris sebagai persoalan dalam penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial.

Tapi diletakkan dalam konteks nilai-nilai sosial dan budaya Yogyakarta. Ini yang menjadi latar belakang lahirnya Perda DIY No. 11 Tahun 2015 tentang LKS. Yose termasuk anggota dewan yang mendorong lahirnya perda itu. Kala itu, Yose aktif menjadi ketua Komisi D yang membidangi masalah kesejahteraan rakyat.

“LKS adalah perwujudan dari filosofi hamemayu hayuning bawono. Sebuah itikad baik dan mulia mewujudkan kesejahteraan, keserasian, kelestarian dan kehidupan yang harmonis, ayom ayem tentrem di masyarakat. Tolong menolong, gotong royong adalah laku utomo yang menjadi nilai-nilai adiluhung yang telah berakar di Yogyakarta,” katanya.

Dalam Perda No. 11 Tahun 2015 itu diatur LKS mempunyai fungsi mencegah terjadinya masalah sosial, memberikan pelayanan sosial kepada penyandang masalah kesejahteraan sosial dan memperkuat nilai-nilai kesetiakawanan, kegotong-royongan, dan kerelawanan.

Pelayanan kesejahteraan sosial terdiri atas rehabilitasi, jaminan, pemberdayaan dan perlindungan. Penyelenggaraan LKS mempunyai sasaran menanggulangi masalah kesejahteraan sosial yang meliputi kemiskinan, keterlantaran, kedisabilitasan, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, korban bencana dan/atau korban tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.

LKS tidak berbadan hukum meliputi lingkup LKS DIY, LKS Kabupaten/Kota dan LKS Kelurahan/Desa. LKS berbadan hukum meliputi lingkup LKS Nasional, LKS DIY, LKS Kabupaten/Kota, LKS Kelurahan /Desa, dan LKS Asing. (kus/mg4)