KULONPROGO – Rasa waswas selalu berkecamuk di benak Sukijan. Terlebih saat hujan deras berlangsung lama. Seolah telah menjadi rutinitas. Sukijan dan istrinya, Sumarmi, 58, harus mengungsi. Ke tempat yang dirasa aman. Di salah satu rumah kerabatnya. Dia akan kembali lagi ke rumahnya di Dusun Tonogoro, Banjaroya, Kalibawang, Kulonprogo. Rumahnya berada di zona merah rawan longsor. Tapi apa boleh buat. Sukijan tak punya rumah lain. Yang lebih aman dan nyaman.
Rumah Sukijan termasuk yang paling dekat dengan retakan tanah yang muncul sejak 2015. Retakan tanah terus merekah setiap kali diguyur hujan. “Saya hanya bisa pasrah,” ungkapnya, Kamis(7/3).
Perbukitan Tonogoro sudah lama menjadi pantauan BPBD Kulonprogo. Tim reaksi cepat pun khusus disiagakan di kawasan itu. Namun hingga kemarin, rencana pemasangan early warning system (EWS) pendeteksi tanah longsor masih sebatas wacana. “Masih dalam pembahasan,” ujar Kepala Pelaksana BPBD Kulonprogo Ariadi.
Ironisnya, Ariadi mengetahui jika retakan tanah tersebut sudah terjadi cukup lama. Hampir empat tahun lalu. Bahkan pencarian solusi dengan menggandeng akademisi Universitas Gadjah Mada juga masih sebatas wacana. Dia justru mengklaim bahwa untuk saat ini belum perlu relokasi warga. Alasannya, kawasan tersebut masih tergolong aman. Dia hanya mengimbau warga di lokasi rawan longsor untuk aktif menanam pohon pengikat tanah. Upaya itu diyakininya bisa meminimalisasi tanah longsor.
Trauma tanah longsor juga dialami Walijah. Warga Padukuhan Kaligatuk, Srimulyo, Piyungan, Bantul. Betapa kagetnya perempuan 45 tahun itu ketika mendengar suara gemuruh pukul 04.30, Kamis(7/3). Saat itu dia hendak beranjak ke dapur. Namun diurungkannya. Walijah lantas keluar rumah melihat apa yang terjadi. Belum surut rasa kagetnya, Walijah mengaku panik sat melihat reruntuhan tanah dan batuan menutup jalan dekat rumahnya. Persis di sisi barat tempat tinggalnya itu.
”Itu longsor pertama. Tak terlalu parah. Longsor kedua pukul 07.30 makin parah,” ungkapnya.
Akses jalan padukuhan selebar 1 meter terputus.
Menurut Walijah, kejadian serupa pernah terjadi dua tahun lalu. Material longsoran juga menimpa rumahnya. Menyebabkan dinding tembok rumah retak. ”Beruntung semua selamat. Kami hanya bisa berhati-hati dan lebih waspada longsor,” katanya.
Rasa bersyukur juga diungkapkan Muhidin, warga RT 09/RW 02, Dusun Secang, Giritengah, Borobudur, Kabupaten Magelang. Tembok rumahnya jebol setelah tebing di belakangnya longsor. “Beruntung tak ada korban jiwa,” ucapnya.
Tak henti-hentinya dia mengucapkan terima kasih kepada para relawan . Baik TNI, Polri, SAR, dan relawan bencana. Yang bergotong royong membersihkan material longsor di rumahnya.
Babinsa Giritengah Serka Jemirin menjadi motor aksi sosial itu. Pembersihan material dengan alat seadanya. Dikerjakan secara manual. (tom/cr6/dem/yog/mg2)