BANTUL – Desa Trirenggo menjadi desa pertama di Kabupaten Bantul yang tahun ini ditetapkan sebagai desa tangguh bencana (destana) oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY. Pengukuhan Destana Trirenggo ini merupakan kali kelima.

Sebelumnya, pengukuhan serupa telah dilakukan BPBD DIY terhadap Desa Banaran, Galur, Kulonprogo, Kelurahan Suryatmajan, Danurejan, Yogyakarta, Kelurahan Purwokinanti, Pakualaman, Yogyakarta dan Desa Sinduadi, Mlati, Sleman.

“Kami mengucapkan terima kasih atas pengukuhan ini,” ucap Lurah Desa Trirenggo Munawar di lapangan Pasutan, Trirenggo, Bantul, Senin(18/3). Pengukuhan diawali dengan gladi lapang. Warga simulasi menghadapi bencana. Relawan mengadakan upaya evakuasi.

Munawar mengatakan, jauh sebelum pengukuhan sebagai destana, warga Desa Trirenggo pernah punya pengalaman menghadapi bencana. Tepatnya pada 29 November 2017 saat terjadi badai Siklon Cempaka yang melanda sejumlah wilayah DIY. Hujan yang terjadi secara terus menerus menyebabkan banjir di banyak lokasi di Bantul. Termasuk di Desa Trirenggo.

“Desa kami dikepung banjir,” kenang Munawar. Namun menghadapi banjir warga Desa Trirenggo tetap tenang. Mereka tidak panik. Semua saling bahu membahu. Munawar sebagai lurah desa meminta warga bergotong royong.

Relawan mengadakan evakuasi dan ibu-ibu menyiapkan dapur umum. “Semua berjalan baik. Jadi menghadapi ancaman banjir, Alhamdulillah, warga kami telah terlatih,” katanya.

Kepala Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Bantul Suyamto menerangkan, sebelum pengukuhan, sejumlah relawan mendapatkan pelatihan. Para relawan tergabung dalam Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Desa Trirenggo. Pelatihan berlangsung sembilan kali di kelas dan tiga kali gladi lapang. “Totalnya ada 12 kali pertemuan,” jelasnya.

Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD DIY Fauzan mengatakan, peresmian Destana Trirenggo merupakan langkah awal. “Masih banyak kegiatan atau pelatihan lain yang harus diikuti,” pesan Fauzan.

Di depan ratusan warga yang mengikuti gladi lapang, Fauzan mengatakan kriteria disebut bencana alam jika memenuhi tiga hal. Yakni merusak lingkungan, menimbulkan kerugian materiil dan merenggut korban jiwa. Dari tiga hal itu, antisipasi meminimalkan jatuhnya korban jiwa harus diprioritaskan. “Kalau terjadi gempa segeralah keluar dari ruangan atau gedung,” katanya.

Fauzan teringat pengalaman Tsunami Aceh 26 Desember 2005. Banyaknya korban meninggal justru terjadi setelah gempa bumi. Warga berbondong-bondong datang ke pantai  karena terkejut dengan fenoma alam. Air laut surut dan ikan banyak yang mati. Namun sekonyong-konyong datang gelombang dengan kecepatan 800 km/ per jam. “Jatuhlah ribuan korban saat itu,” ceritanya.

Jumlah korban jiwa makin banyak berjatuhan saat warga desa di luar Banda Aceh rama-ramai turun ke kota. Mereka ingin melihat kondisi ibukota. Nahas terjadi gelombang tsunami susulan. “Saat bencana sebaiknya jauhilah lokasi bencana,” lanjutnya. (kus/mg2)