OTT KPK yang menangkap Ketua Umum Parta Kakbah PPP Mohammad Romahurmuziy memberikan pelajaran berharga bahwa parpol menjadi kian barbarian dalam perburuan pendanaan politik menjelang pemilu.
Jual beli jabatan untuk pendanaan parpol bukan barang baru, termasuk yang dibongkar KPK melalui OTT Romahurmuziy dan pejabat lain.
Parpol jelas butuh dana yang tak terbatas untuk berebut panggung parlemen yang sangat terbatas. Sementara sumber pendanaan yang sah dari APBN sangat jauh dari kebutuhan manuver politik pemilu 2019 yang waktunya sudah mepet.
Sumber pembiayaan yang sah lainnya, misalnya sumbangan dari perorangan maupun swasta juga sangat dibatasi menurut UU Parpol. Walaupun ada beberapa parpol yang enggan melaporkan sumbangan dari pihak swasta yang jumlahnya fantastis, demi barter proyek dari kementerian maupun daerah.
Sampai saat ini, transparansi laporan keuangan parpol terkait sumber dananya dari mana saja, untuk apa saja, belum berjalan dengan baik.
Ironis, pasca reformasi yang membuka pintu demokrasi terbuka lebar untuk tumbuhnya partai-partai politik, justru ikatan anggota parpol dengan partainya sangat lemah, dilihat dari iuran anggota.
Iuran anggota parpol bukan hanya bagian dari bentuk ikatan ideologis parpol, tetapi juga mencerminkan kekuatan politik parpol secara finansial.
Sebaliknya jika iuran anggota dalam parpol tidak berjalan, akan muncul ”bandar judi” atau satu dua orang yang menguasai parpol dengan cara menyumbang paling besar.
Praktek konglomerasi parpol tidak bisa dibendung. Para pemodal yang tak sejalan dengan platform ideologi parpol pun tiba-tiba diberi kursi untuk masuk dalam kepengurusan parpol. Asalkan mau setor dana besar, mereka yang warna politik nya abu-abu bisa jadi pengendali parpol berwarna kuning, merah, atau biru.
Pergeseran dari partai berbasis massa (masa party) menjadi partai lintas kelompok (catch all party) membuat model iuran anggota tidak berjalan.
Akhirnya terobosan jalan sesat pendanaan parpol ditempuh. Salah satunya adalah jual beli jabatan. Pengadaan jabatan eselon I dan II tingkat kementerian, beberapa melibatkan parpol. Bahkan ada kementerian tertentu yang sudah diblock menjadi lahannya parpol tertentu. Di daerah juga sama, beberapa calon kepala dinas harus setor kepada parpol pemenang di daerah agar bisa lolos menjadi kepala dinas yang diinginkan kepala daerah.
Akhirnya banyak pejabat hasil jual beli dengan parpol ini mencari jalan syubhat, bahkan mencari uang haram untuk setor kepada parpol.
Misalnya ada seorang calon pejabat kanwil kementerian tertentu yang dipatok harga Rp 2 miliar untuk membantu kas parpol. Calon pejabat tersebut tentu tidak keluar uang sendiri. Ada banyak calon bandar yang siap menyokongnya. Mulai dari kontraktor dan para pemborong yang berharap mendapat proyek, sampai pejabat-pejabat di bawahnya yang berharap mendapat promosi jabatan lebih gurih. Bahkan seorang calon kepala dinas pendidikan di daerah, yang dipaksa parpol untuk setor, akan meminta bantuan para calon kepala sekolah untuk membantu uang setoran ke parpol.
Lemahnya peran Komisi Aparatur Sipil Negara dalam mengawal reformasi birokrasi, menjadi salah satu penyebab praktek haram jual beli jabatan tak bisa dihentikan.
Sebaliknya, transparansi pemasukan dan belanja parpol belum sepenuhnya bisa ditegakkan. Satu-satunya pandangan untuk menutup jalan barbarian parpol dalam mengeruk pendanaan haram, adalah menegakkan sanksi pembubaran parpol yang terbukti praktek jual beli jabatan di manapun. Tentunya pembubaran parpol harus secara konstitusional. (ila)
*Penulis merupakan Dosen Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta