Suyana. (DWI AGUS/RADAR JOGJA)

JOGJA – Dibuka kembalinya tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) Piyungan tak langsung menyelesaikan tumpukan sampah di Kota Jogja. Persoalan berikutnya soal distribusi sampah karena ada ratusan truk sampah dari Kota Jogja, Sleman dan Bantul yang ke sana. Belum lagi adanya truk sampah plat hitam.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Jogja Suyana menuturkan keberadaan truk sampah plat hitam menjadi permasalahan tersendiri. Alasannya armada tersebut masih menerapkan dropping manual. Sampah diturunkan dari truk tanpa bantuan mesin.

“Nah itu memakan waktu yang cukup lama saat dropping sampahnya, masih manual pakai garpu tala. Padahal manajemen waktu sangat penting untuk menghindari adanya antrian,” jelasnya Minggu (31/3).

Berdasarkan data tim pengawas di TPST Piyungan, setidaknya ada 150 truk berplat hitam. Armada milik swasta ini turut beroperasi saat lokasi tersebut dibuka kembali. Kendaraan, kata Suyana, didominasi berasal dari Kabupaten Sleman dan Bantul.

Suyana menduga armada tersebut mengambil sampah milih perumahan warga. Ini karena jumlah perumahan terus meningkat sepanjang waktu. Disatu sisi, pelayanan sampah belum seimbang.  Dimana armada sampah plat merah belum menjangkau seluruh perumahan.

“Biasanya seperti itu dari perumahan yang belum terjangkau. Lalu ada pihak swasta masuk menawarkan jasa. Sebenarnya tidak masalah, hanya saja kalau bisa lebih tertib saat dropping,” pesan mantan Kepala Disperindagkoptan Kota Jogja itu.

DLH Kota Jogja sendiri menerapkan sistem manajemen waktu. Apabila terjadi antrian maka dropping dari wilayah kota sejenak berhenti. Tujuannya agar tidak ada antrian kendaraan sepanjang jalan menuju TPST.

Sejak dibuka Jumat (29/3), DLH Kota Jogja langsung membersihkan tumpukan sampah di 142 TPS. Pasang target selama sepekan, pasukan orange Jogja telah membersihkan puluhan TPS. Dalam satu hari setidaknya ada 40 truk dan 400 personel yang bekerja. “Tiga hari ini relatif cepat untuk angkut-angkutnya. Ya semoga bisa lebih cepat dari target awal satu minggu,” harapnya.

Terpisah Wakil Wali Kota Jogja Heroe Poerwadi mengakui TPST Piyungan adalah permasalahan klasik yang terus berulang. Untuk itu, jajarannya tengah menyiapkan perencanaan jangka panjang. Salah satunya adalah pengolahan sampah mandiri di kawasan Tegalrejo.

Konsepnya mengolah sampah basah dan kering menjadi bata dan batako. Teknologi yang diusung mampu mengolah sampah tanpa dipisahkan. Setidaknya butuh waktu enam jam untuk mengolah empat hingga delapan ton sampah.

“Masih sebagai pilot project dulu, sementara dua unit mesin pengolahnya. Bentuknya seperti menara, ada cerobongnya, harganya kisaran Rp 170 juta sampai Rp 200 juta per unitnya,” katanya ditemui dalam acara Deklarasi Kampung Panca Tertib, Gemblakan Bawah Suryatmajan Danurejan, kemarin pagi.

Terkait polusi, mantan jurnalis ini memastikan dalam tingkat aman. Ini karena pengolahan sampah juga fokus pada imbas bau. Hanya saja tetap ada evaluasi  berkala selama program berjalan.

“Sampah dari kota nanti disele

saikan di situ dan tidak sampai Piyungan. Untuk bau akan terus kami antisipasi dengan pengolahan yang optimal,” jelasnya.  (dwi/pra/mg1)