JOGJA – Arah suksesi di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat makin hari makin terang arahnya. Pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) 31 Agustus 2017 dan Sabdaraja 30 April 2015 semakin menguatkan posisi Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi sebagai kandidat penerus takhta kasultanan.

“Prosesnya melihat tiga prasyarat. Laku, lakon dan lampah,” ungkap Sekretaris Pawiyatan Pamong Fajar Sujarwo di sela acara pawiyatan dengan peserta para kaum rois se-DIY di Gedung Punokawan, Jogja, Minggu(31/3).

Pawiyatan Pamong merupakan kegiatan pelatihan bertema sosialisasi Keistimewaan Jogjakarta. Tujuannya demi meneguhkan Jati Diri Warga DIY yang toleran dan pluralis. Pawiyatan pamong itu dipimpin GKR Mangkubumi. Posisinya sebagai kepala sekolah.

Sedangkan sebagai guru Wakil Penghageng Tepas Tandhayekti Keraton Jogja KPH Yudhahadiningrat. Sebelum kaum rois, pawiyatan pamong ini telah diikuti para pejabat Pemprov DIJ, lurah dan perangkat desa se-DIJ. Juga dari lingkungan pengemudi ojek online.

Tentang makna laku, lakon dan lampah secara gamblang dan detail dibeberkan Jarwo, sapaan akrabnya, saat menjadi narasumber Sosialisasi dan Penyerapan Aspirasi tentang Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI di gedung DPD RI Jalan Kusumanegara, Jogja pada Jumat (29/3). Sosialisasi, antara lain, diikuti sejumlah guru, pemuda, dan masyarakat.

Di depan peserta, Jarwo berbicara banyak hal terkait keistimewaan DIJ. “Sejarahnya panjang. Tanpa ada Jogja, tidak ada republik ini,” ungkapnya. Dari masa kemerdekaan, dia kemudian masuk pada era sekarang.

Termasuk adanya putusan MK yang membatalkan pasal 18 ayat (1) huruf m UU No. 13 Tahun 2012. Salah satu syarat calon gubernur harus menyertakan biodata istri dinyatakan oleh MK tidak punya kekuatan hukum. “Dengan putusan MK itu persyaratan menjadi gubernur DIJ tidak ada lagi nuansa diskriminatif,” ujarnya.

Dia kemudian bercerita soal pengalamannya menjadi moderator saat Sultan Hamengku Buwono X menjelaskan makna Sabdaraja 30 April 2015 dan Dawuhraja 5 Mei 2015. Penjelasan itu diberikan di Ndalem Wironegaran pada 8 Mei 2015. “Saya waktu itu yang memandu jalannya acara,” cerita pria asal Banjarnegara ini.

Sekadar mengingatkan, sabdaraja lima perintah. Di antaranya, keputusan Sultan mengubah nama dan gelarnya. Dari Sultan Hamengku Buwono X menjadi Sultan Hamengku Bawono Ka 10. Adapun dawuhraja berisi titah dari HB Ka 10 mengganti nama putri sulungnya dari GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi. “Perubahan nama itu berarti Gusti Mangkubumi telah menjadi putri mahkota,” tegas Jarwo.

Di depan peserta sosialisasi, dia kemudian bercerita soal upayanya meminta penjelasan dari Sultan. Yakni terkait tindak lanjut pasca Mangkubumi menjadi putri mahkota. Pertanyaan itu sengaja diajukan Jarwo agar mendapatkan titik terang.

Dari cerita Jarwo, Sultan ternyata tidak memberikan jawaban secara langsung. Namun memberikan sinyal sekaligus gambaran tentang proses suksesi yang selama ini berjalan di keraton. Menurut dia, kala itu Sultan menerangkan ada tiga hal yang menentukan perjalanan seorang calon pewaris takhta.

“Syaratnya ditentukan laku, lakon dan lampah. Laku itu tergantung apa yang dijalani. Lakon itu cerita dan lampah itu berarti perjalanan hidup. Kalau kelakuannya jelek, nyawa akan habis,” ceritanya yang membuat peserta sosialisasi tertegun.

Kisah seputar suksesi Kerajaan Mataram kembali disinggung KPH Yudhahadiningrat di depan para kaum rois yang menjadi peserta pawiyatan pamong kemarin. Dia mengungkapkan, sejarah raja-raja Mataram yang berganti-ganti nama dan gelar.

Kisahnya mulai dari peralihan Kerajaan Pajang ke Mataram berlanjut ke Kotagede. Dari Kotagede kerajaan berpindah tiga kali ke Kerta, Plered dan Kartasura. Romo Noer mengungkapkan, raja Mataram pertama bernama Panembahan Senopati. Penggantinya memakai gelar Panembahan Hanyokrowati.

Penerusnya beralih nama menjadi Sultan Agung Hanyokrokusumo. Anak Sultan Agung saat naik takhta memakai gelar Susuhunan Hamangkurat Agung atau Amangkurat I. “Hamangkurat Agung memindahkan keraton dari Kerta ke Plered,” kiahnya.

Dari Amangkurat I digantikan Amangkurat II dan berlanjut ke Amangkurat III. Pusat kerajaan karena diserang Trunajaya kemudian dipindahkan ke Kartasura oleh Amangkurat II. Saat Amangkurat III digantikan pamannya, Susuhunan Paku Buwono (PB) I. Anak PB I kembali memakai gelar Amangkurat IV.

”Pengganti Amangkurat IV bukan Amangkurat V. Tapi memilih nama Susuhunan Paku Buwono II. Itu sejarah Mataram hingga berlanjut ke Ngayogyakarta Hadiningrat setelah Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755,” tuturnya.

Pawiyatan pamong itu juga menghadirkan narasumber Anggota DPD RI Hafidh Asrom dan Paniradya Keistimewaan atau Kepala Badan Keistimewaan DIJ Beny Suharsono. “Tidak ada daerah lain yang punya keistimewaan seistimewa Jogja,” ujar Beny.

Dia mengatakan keistimewaan DIJ meliputi lima urusan. Pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur, kelembagaan, pertanahan, tata ruang dan kebudayaan. “Keistimewaan DIJ tidak dibatasi waktu sebagaimana Aceh yang hanya 20 tahun,” terang dia. (kus/mg2)