MENGAWALI tulisan ini saya buka dengan sebuah kutipan tokoh. Semua bangsa yang berjaya adalah bangsa yang berhasil mengembangkan nilai dan hikmah budayanya lewat bahasanya. Tidak ada bangsa yang cemerlang dengan meminjam atau meniru bahasa bangsa lain (Othman, 2008).
Revolusi Industri 4.0 memberikan paradigma baru pada penguasaan bahasa penutur bahasa di Indonesia. Berbagai sumber dan media informasi pun seolah ambil peran dalam doktrinisasi informasi pada keharusan penguasaan bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional. Semuanya terdampak globalisasi.
Realitanya penggunaan bahasa dan implementasi nilai pendidikan karakter lewat bahasa Jawa di kalangan milenial menjadi sebuah kelangkaan yang patut dirindukan. Kalaupun ada, pemanfaatan bahasa Jawa cenderung terbatas pada komunikasi saja. Dampak negatif akibat pendangkalan bahasa Jawa di kalangan milenial kini mulai dirasakan. Banyak milenial yang tak paham penerapan sopan santun pada yang lebih tua atau mana yang seharusnya dihormati. Pudarnya bahasa Jawa menjadikan kualitas budi pekerti dan tata karma milenial semakin merosot.
Saat ini generasi muda khususnya milenial berseragam sebagian besar tak menguasai bahasa Jawa. Menurut penulis terdapat beberapa penyebab sehingga kondisi ini terjadi. Hal ini bisa dipicu oleh serbuan beragam budaya asing dan arus informasi lewat berbagai media. Pemakaian bahasa gaul dan bahasa campuran Jawa-Indonesia-Inggris juga memperparah kondisi bahasa Jawa yang makin lama makin terbenam.
Bahasa sebagai wujud cerminan diri seseorang memiliki kekuatan budaya dan etika diri dalam setiap proses komunikasi para penuturnya. Tutur kata dalam berbahasa tak dibatasi oleh nilai komunikasi antarpersonal semata. Lebih dari itu, proses komunikasi tersebut memuat semangat etik penutur bahasa. Hal ini selaras dengan pepatah Jawa ‘ajining diri gumantung sangka lathi, ajining raga gumantung sangka busana’.
Dalam penggunaannya, bahasa Jawa memiliki aksara sendiri, dialek yang berbeda di tiap daerah, serta dimilikinya ciri khas etika berbahasa Jawa yang disebut unggah-ungguh basa. Sesuai tingkatan dalam unggah-ungguh, terdapat tiga tingkatan bahasa yaitu ngoko (kasar), madya (biasa), dan krama (halus). Dalam tingkatan bahasa ini, penggunaannya berbeda-beda sesuai dengan lawan bicara penutur.
Bahasa sebagai salah satu pintu masuk karakter personal. Sinergitas antara milenial, keluarga, sekolah, masyarakat, media, dan pemerintah mutlak diperlukan guna menghadapi persoalan di atas.
Milenial sebagai bagian masyarakat asli Jawa harus mengemban semangat mau dan mampu belajar, menenggelamkan gengsi dan stigma miring bahasa Jawa, memiliki kesadaran utuh dan aktif melestarikan budaya berbahasa Jawa beserta etika berbahasa Jawa (unggah-ungguhnya).
Dalam keluarga sebaiknya orang tua mengajarkan kepada anak-anaknya agar terbiasa berbahasa Jawa. Kemampuan seseorang mempelajari bahasa lebih ditentukan oleh pembiasaan seseorang dalam berbahasa ketimbang tingkat mudah atau sulitnya bahasa tersebut.
Lingkungan sekolah merupakan lingkungan akademik yang tepat untuk mempertahankan budaya berbahasa Jawa. Milenial belajar dan mempraktikkannya bersama guru, teman, dan warga sekolah lainnya. Lebih jauh sekolah juga dapat membuat program hari berbahasa Jawa, lomba pidato bahasa Jawa, dan lainnya.
Sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945, bahasa Jawa dihormati dan dipelihara oleh negara, termasuk pemerintah pusat atau pun daerah. Payung hukum tersebut tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) yakni Pergub DIY Nomor 64/2013, Pergub Jawa Tengah Nomor 57/2013, serta Pergub Jawa Timur Nomor 19/2014 tentang pelajaran bahasa Jawa sebagai muatan lokal wajib di sekolah. Media cetak seperti koran dan majalah berbahasa jawa, siaran radio, televisi lokal harus menjadi media mengkampanyekan bahasa Jawa pada milenial dan publik.
Budaya bahasa Jawa terjaga dan nilai-nilai karakter etika berbahasa (unggah-ungguh) dapat terwujud sesuai harapan manakala dijalankan secara komprehensif lewat sinergitas milenial, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Selain itu dukungan penuh media dan pemerintah mutlak dibutuhkan demi mengobati rindu kembalinya penggunaan bahasa dan implementasi nilai pendidikan karakter lewat bahasa Jawa di kalangan milenial. Dengan begitu, harapannya ke depan menjadi kita bisa mewujudkan bangsa yang berkarakter. Semoga. (ila)
*Penulis merupakan guru pada MTs Darul Ishlah Sukorejo, Kabupaten Kendal dan Fasilitator pada Program PINTAR Tanoto Foundation Regional Jawa Tengah