SLEMAN – Meningkatkan pelayanan pendidikan berkualitas bagi seluruh masyarakat menjadi salah satu misi Pemkab Sleman di bawah kepemimpinan Bupati Sri Purnomo.

Artinya semua warga Sleman punya kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Sekaligus menjadi garansi bagi semua anak akan ketersediaan sekolah dengan mutu seimbang.

Sudah tiga tahun ini Pemkab Sleman menerapkan sistem zonasi demi mewujudkan misi tersebut. “Zonasi itu bukan hanya untuk penerimaan peserta didik baru (PPDB). Tapi demi pemerataan mutu pendidikan,” tutur Kepala Dinas Pendidikan Sleman Sri Wantini, Kamis (24/4).

Sistem zonasi tingkat SMP pada PPDB 2018 diterapkan dengan model. Dibagi dalam empat wilayah. Sleman barat, Sleman tengah, Sleman utara dan Sleman timur.

Pada tahun ini ada sedikit perubahan. PPDB SMP 2019 dibuat lebih mikro. Agar bisa menjangkau anak yang jarak rumahnya lebih dekat dengan sekolah. Kebijakan ini merupakan hasil evaluasi pelaksanaan sistem zonasi PPDB 2018.

Menurut Wantini, dengan sistem korwil jarak rumah siswa dengan sekolah masih dirasa sangat jauh. “Sistem yang lalu sudah berjalan baik dan tidak ada blankspot. Zona baru ini lebih menghindarkan blankspot dan mendekatkan siswa ke sekolah,” jelasnya.

Adapun PPDB SMP 2019 terbagi atas dua zona utama. Zona 1 meliputi desa, di mana sekolah berada. Kemudian zona 2 meliputi area kecamatan, di mana sekolah tersebut berada.

Meskipun sistem zonasi berbasis desa, jelas Wantini, faktor jarak juga menjadi penentu diterimanya siswa di sekolah terdekat dari tempat domisili. Nantinya akan ada zona sekolah yang saling beririsan. Sebuah desa tak selalu menjadi zona 1 bagi sekolah yang berada di desa tersebut. Tapi juga bisa menjadi zona 1 bagi sekolah di desa lain.

Wantini mencontohkan SMPN 1 Mlati yang terletak di Desa Tirtoadi, Mlati. Sekolah tersebut berdekatan dengan Desa Sidomoyo, Godean. Artinya, Tirtoadi menjadi zona 1 SMPN 1 Mlati. Kendati demikian, meski beda desa dan kecamatan dengan lokasi sekolah, Sidomoyo juga bisa masuk zona 1 SMPN 1 Mlati.

Sementara desa-desa lain di Godean yang jaraknya lebih jauh dari SMPN 1 Mlati masuk zona 2. Misalnya, Sidoarum dan Sidokarto. Letak dua desa tersebut tak sedekat Sidomoyo jika ditarik garis dari SMPN 1 Mlati. “Penetapan zona itu berdasarkan usulan dari sekolah. Seluruh sekolah negeri sudah berembuk untuk penetapan zona,” ujarnya.

“Dengan kondisi tersebut, sangat dimungkinkan satu desa bisa menjadi zona untuk sekolah A dan sekolah B,” lanjutnya.

Wantini optimistis konsep tersebut bisa mengatasi blankspot. Sehingga cita-cita untuk pemerataan pendidikan bisa tercapai. “Ditambah di Sleman ini sebaran sekolah negeri maupun swasta merata. Tidak terkonsentrasi di satu daerah saja,” ungkap Wantini.

Hanya, tantangannya adalah daya tampung sekolah. Wantini tidak menampik jika daya tampung sekolah negeri sangat terbatas. Makanya diperlukan seleksi. Sehingga tidak semua siswa bisa masuk ke sekolah yang diidamkan.

Menurut Wantini, sejauh ini masih ada orang tua yang berpikir anaknya harus sekolah di sekolah negeri. Padahal seluruh sekolah di Sleman mendapatkan perlakuan yang sama. Baik sekolah negeri maupun swasta.

“Orang tua jangan khawatir. Sleman punya banyak sekolah swasta yang kualitasnya sama baik,” tegasnya.

Wantini mengimbau para orang tua siswa tidak membeda-bedakan antara sekolah negeri dan swasta. Sebab, sekolah swasta juga bisa berprestasi. “Tak sedikit sekolah swasta di Sleman yang meraih banyak prestasi,” ujarnya.

Di Sleman total ada 55 SMP negeri, 62 SMP swasta, dan 28 MTs. Jumlah SMP yang ada, kata Wantini, bisa menampung lulusan SD di seluruh Sleman. “Meskipun jumlah sekolah negeri belum bisa menampung semua lulusan SD, tapi masih ada sekolah swasta yang bisa menjadi tempat untuk mempercayakan pendidikan anak ,” tutur Wantini. (har/yog/fj)