JOGJA – Masyarakat Indonesia diminta menyudahi polemik terkait Pemilu 2019. Karena tantangan bangsa Indonesia tak hanya terkait politik saja. Ada tantangan ke depan yang lebih berat di antaranya menghadapi era disrupsi atau revolusi industri 4.0.
Itu disampaikan Staf Khusus Presiden RI Bidang Keagamaan Internasional sekaligus Tokoh Suluh Kebangsaan, Dr Hj Siti Ruhaini Dzuhayatin dalam Diskusi Kebangsaan di Wisma PU, Jalan Laksda Adisucipto 165 Jogja kemarin (30/5). Hadir pembicara lain, akademisi UIN Sunan Kalijaga Jogja Dr Zamzam Afandi MSi, Ketua Bawaslu DIJ Bagus Sarwono dan Ketua Umum Badko HMI Jateng-DIJ Sahal Munir dipandu moderator Ja’faruddin. Diskusi dihadiri ratusan kader dan pengurus HMI dan alumni HMI se-DIJ dan Jawa Tengah.
Siti Ruhaini menyebut, jika dibatasi hanya sebagai sebuah tata kelola dalam negara, persoalan pemilu sangatlah ringan. Perlu dipahami bahwa dalam konteks tata kelola negara, pemilu adalah cara menghasilkan kepemimpinan yang punya kapasitas dan kapabitas menjaga identitas negara, memastikan keamanan dan kenyamanan rakyatnya dan memastikan pemerataan layanan publik dan keterjangkauan manfaat.
“Jadi kalau tiga mandat pemilu tadi sudah terpenuhi, maka sebenarnya politik identitas Indonesia sudah selesai dan saatnya kita melakukan konsolidasi,” ujar Siti.
Menurut dia, polarisasi yang terjadi selama Pemilu 2019 merupakan awal dari proses konsolidasi nasional bangsa Indonesia. Sehingga diharapkan polarisasi ini tidak berlarut-larut, melainkan kembali bersatu untuk bersama-sama membangun bangsa.
“Indonesia sudah memiki satu titik temu yaitu Pancasila. Selain itu bangsa Indonesia memiliki tradisi keislaman yang sangat mapan. Ini merupakan modalitas untuk konsolidasi menuju bangsa Indonesia yang berkemajuan dan berkenegaraan,” ujarnya.
Sedag Bagus Sarwono mengatakan, meskipun diwarnai beragam protes ke KPU dan Bawaslu saat proses perhitungan suara, namun akhirnya persoalan sengketa pemilu bermuara ke MK. “Semua pihak harus menghormati proses dan keputusan di MK, sebagai satu-satunya lembaga tinggi negara yang berhak memutuskan sengketa pemilu,” katanya. (cr8/pra/tif)