JOGJA – Garebeg Syawal Keraton Jogjakarta selalu dinanti masyarakat. Tujuh gunungan dipersembahkan Raja Jogjakarta, Sri Sultan Hamengku Bawono ka 10 kepada warganya. Seluruhnya dibawa ke Masjid Gede Kauman untuk didoakan.

Salah satunya dibawa ke Kadipaten Pura Pakualaman. Gunungan kakung ini dikawal dua ekor gajah dari GL Zoo di garda terdepan. Menyusul Bregada Lombok Abang dan Bregada Plangkir Kadipaten Pakualaman.

“Gunungan ini merupakan pemberian Raja Jogjakarta kepada Kadipaten Pura Pakualaman,” kata Pengageng Kawedanan Budaya lan Pariwisata Kadipaten Pakualaman, Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Indrokusumo, Rabu (5/6).

Bertempat di Tratak Bangsal Sewatama, penyerahan gunungan dilakukan Abdi Dalem Keprajan Keraton Jogjakarta, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Projo Mustiko. Diterima Bupati Sepuh Kadipaten Pura Pakualaman, KRT Projo Anggono.

Kemudian gunungan didoakan. Beberapa trah Pakualaman, diawali GKBRAy Paku Alam mengambil gunungan hasil bumi tersebut. Setelah itu baru diperebutkan oleh warga di Alun-Alun Sewandanan.

“Gunungan tersebut juga sebagai wujud kesejahteraan dan budaya. Tidak hanya saat Syawal, tradisi paring gunungan ini juga berlangsung saat Garebeg Besar dan Garebeg Maulud,” kata adik bungsu KGPAA Paku Alam IX ini.

Tradisi tersebut sempat terhenti medio 1990-an. Setelah itu, pada 1994, tradisi maringi gunungan berlanjut. Indro mengatakan, awalnya jumlah gunungan lebih banyak.

“Dulu ada sekitar 18 gunungan yang diberikan ke setiap ndalem kepangeranan. Pemberian ini juga merupakan sebuah tanggung jawab, karena setiap pangeran mendapat tugas untuk membina lingkungan,” jelas pria kelahiran 17 Agustus 1950.

Mengenai warga yang menganggap gunungan merupakan ajang ngalap berkah, Indro tidak sepenuhnya membenarkan. Gunungan ini hanyalah sebuah simbol. Sedangkan untuk berkah tetap berusaha dan berdoa sesuai keyakinan yang dianut oleh masing-masing orang.

“Tetap berdoa kepada Tuhan. Gunungan ini lebih kepada manteping ati. Sehingga tidak bergantung sepenuhnya kepada gunungan,” katanya.

Garebeg pada awalnya tidak dirayah. Kala itu, gunungan dibagikan kepada warga. Ragam gunungan hasil bumi ini oleh para pangeran dipotong rata.

Tidak hanya dikonsumsi, hasil potongan juga disebarkan ke sawah milik warga. Agar hasil panen melimpah dan mendatangkan berkah.

Seorang warga Brosot Kulonprogo, Jono Tuginah, 62 tahun, sudah datang sejak pagi. Dia memetik beberapa untai kacang panjang. Dia simpan sebagai simbol rezeki.

“Nanti ada yang disayur, sebagian dikeringkan lalu disebar di sawah. Saya tidak ikut merayah hanya memetik sisanya,” kata Tuginah.

Usai nompo paringan gunungan, berlanjut dengan ngabekten. Prosesi syawalan diikuti seluruh Trah Pakualaman. Hadir beberapa pejabat setingkat provinsi dan kabupaten/kota. Ada penampilan tarian klasik, Beksan Madya Mataya, Harjuna Sasrabahu, dan Manggala Tama. (dwi/iwa/fj)