SLEMAN – Wajah pariwisata Sleman kembali tercoreng aksi pungutan liar (pungli). Oleh oknum yang mengaku sebagai pengelola destinasi wisata. Pungli di kawasan lava tour Merapi selama libur Lebaran lalu begitu meresahkan wisatawan. Bagaimana tidak, wisatawan merasa dipaksa membayar uang tambahan sebesar Rp 30 ribu hingga Rp 150 ribu. Itu sebagai ongkos jasa pemandu wisata dan rental motor maupun ojek. Padahal retribusi resmi yang diterbitkan Dinas Pariwisata Sleman hanya Rp 2 ribu pada hari biasa. Sedangkan pada hari-hari besar atau musim liburan Rp 3 ribu.

Hilmi, salah satunya. Wisatawan asal Magelang itu mengaku telah ‘dipalak’ oleh seseorang yang mengatasnamakan kelompok Solidaritas Taxi Motor Jelajah yang berkedok pemandu wisata tersebut.

“Saat mau naik (lereng Merapi, Red) saya ditanya asal dari mana,” beber Hilmi, Selasa (11/6). Saat itu Hilmi bermaksud menuju tempat wisata Kali Adem di Desa Kepuharjo, Cangkringan. Dia datang Senin (10/6) sekitar pukul 11.00. Hilmi dicegat oleh oknum tersebut di pos jip sebelum tanjakan terakhir. Ditanya tempat asal, Hilmi pun menjawab apa adanya. Lalu diminta membayar uang tambahan Rp 30 ribu.

Hilmi pun juga sempat beradu argumen dengan oknum tersebut. Dia juga menanyakan asal tiket retribusi yang disodorkan pelaku. Tiket tersebut tanpa cap resmi dari pemerintah. Dalam hal ini Dinas Pariwisata Sleman.

Hilmi mempertahankan argumennya bukan tanpa alasan. Sebab, bukan sekali itu saja dia berwisata ke Kaliadem. Dia juga menumpang kendaraan sendiri. Tidak sewa ojek.

“Padahal dulu tidak ada itu. Hanya bayar tiket parkir dan retribusi masuk. Itu pun di gerbang masuk kawasan Kaliadem, yang menurut saya resmi,” ungkapnya. “Yang ini saya tanya malah katanya sudah kesepakatan dengan warga dan dinas,” tambahnya.

Akhirnya Hilmi pun terpaksa membayar Rp 30 ribu. Oleh pelaku dia lantas diantar sampai lokasi petilasan Mbah Marijan. Baik Hilmi maupun pelaku mengendarai kendaraan masing-masing. “Sebenarnya bayar itu juga tidak guna, karena setelah diantar sampai parkiran terus orangnya turun lagi,” sesalnya.

Menurut Hilmi, kejadian itu akan mencoreng citra wisata Sleman dan membuat wisatawan kapok.

Fajar Radite Syamsi, warga Dusun Pangukrejo, Umbulharjo, Cangkringan, membenarkan adanya pungli di kawasan wisata Kaliadem. Bahkan hal itu sudah berlangsung sejak lama. “Orang yang

melakukan pungli juga hanya itu-itu saja,” bebernya.

Menurut Fajar, oknum tersebut asal Dusun Ngrangkah, Umbulharjo. Pelaku sudah berulang kali dipanggil oleh pemerintah desa setempat. “Namun pelaku sampai detik ini tidak merasa melakukan kesalahan,” sesalnya.

Fajar khawatir aksi pungli akan berpengaruh pada tingkat kunjungan wisatawan. Karena menimbulkan kesan tidak baik bagi wisatawan. “Apalagi kalau nanti wisatawan jadi kapok, kan itu malah merusak iklim wisata di Kaliadem. Padahal penyakitnya hanya satu orang saja,” katanya kesal.

Dari penelusuran Radar Jogja, sebagian besar kendaraan yang dicegat oleh para pelaku berpelat nomor luar DIJ. Kendati demikian, tak sedikit pula kendaraan berpelat AB yang juga distop dan diminta membayar tambahan. Baik wisatawan dengan sepeda motor maupun mobil. Lalu wisatawan diantar dan diarahkan ke tempat parkir lokasi wisata yang dituju. Peristiwa itu biasa terjadi saat musim liburan.

Setiap karcis yang disodorkan pelaku kepada wisatawan memuat lima paket dengan variasi nominal. Pertama, hanya sampai di petilasan Mbah Marijan dikenakan tambahan biaya Rp 30 ribu. Kedua, mengantar sampai bungker tambahan biayanya Rp 50 ribu. Ketiga, untuk ke petilasan Mbah Marijan dan bungker tambah Rp 60 ribu. Keempat, paket medium seharga Rp 120 ribu, dan kelima paket long bertarif Rp 150 ribu.

Terpisah, Kepala Dinas Pariwisata Sleman Sudarningsih justru menduga ada salah paham pada wisatawan. Setahu dia tak ada unsur pemaksaan oleh oknum terkait. “Mungkin ada salah pengertian. Itu tidak memaksa, tapi sukarela. Kalau memang membutuhkan pemanduan untuk itu bisa dilakukan,” dalihnya.

Ironisnya, Sudarningsih juga mendapat informasi bahwa para pelaku dalam menjalankan aksinya atas dasar peraturan desa (perdes) setempat. Perdes tersebut juga telah disosialisasikan melalui spanduk yang terpasang di kawasan wisata.

“Setelah kami klarifikasi dengan perangkat desa ternyata peraturan itu seharusnya cuma untuk membatasi jumlah kendaraan yang naik. Karena area parkir kendaraan terbatas,” katanya.

Selain itu, lanjut Sudarningsih, perdes tersebut untuk menambah perekonomian masyarakat. “Alasan mereka seperti itu,” tambahnya.

Menurut Sudarningsih, jika memang ada payung hukumnya, tindakan oknum penarik bea tambahan masuk Kaliadem bukan lagi masuk ranah pungli. Kendati begitu, dia berjanji untuk mengkaji lagi besaran tarif tambahan yang diatur dalam perdes tersebut.

Sudarningsih menegaskan, semua warga tidak boleh memaksa dan meminta uang tambahan lagi. Tanpa kecuali. Dia memastikan, retribusi masuk ke kawasan wisata Kaliadem hanya dikenakan tarif resmi Rp 2 ribu pada hari biasa dan Rp 3 ribu pada hari besar. “Kami akan tegakkan aturan. Nanti tidak akan ada lagi kejadian seperti itu,” tegasnya. (har/yog/rg)