SLEMAN – Tren busana berkonsep ramah lingkungan menjadi primadona masyarakat. Lima mahasiswa UNY pun merancang kain tenun Eco Culture Fashion. Memanfaatkan tanaman perdu.
Salah seorang pencetusnya, Miftahul Annisah Murfitria menjelaskan, Eco Culture Fashion merupakan inovasi tenun tradisional. Dibuat agar tenun tradisional tetap eksis.
Motif yang dihasilkan dari cerita rakyat. Memiliki kandungan nilai-nilai moral yang belum banyak ada di produk fashion lain.
Miftah bersama empat temannya, Khoir Nur Arifah, Ahmad Febriyanto, Chomsatun Ripsa Cendana, dan Dwi Martanti Cahya Imani mengenalkan warisan budaya asli Indonesia tersebut.
Selain menggunakan daun alok atau kersen, Miftah menggunakan daun lanang dan daun jati. Saat pewarnaan, tanaman tersebut mudah mengeluarkan warna.
Pewarnaan dengan teknik ecoprint. Aman bagi lingkungan, limbah pewarnaan tidak menimbulkan pencemaran. “Menjadi produk fashion ramah lingkungan,” jelas Miftah (11/6).
Pembuatan Eco Culture Fashion hanya seminggu. Bahan yang digunakan adalah kain mori primissima, malam batik, kayu tinggi, tunjang, tawas, dan daun.
Ada beberapa proses yang harus dikerjakan. Salah satunya mordanting, yakni merendam kain pada deterjen bubuk semalam. Untuk membuka pori-pori kain sehingga zat warna lebih meresap.
Setelah kain kering, dilakukan proses menjiplak motif cerita rakyat. Lali dedaunan diletakkan pada kain. Selanjutnya proses pewarnaan ecoprint dengan metode kukus selama 60 menit.
‘’Kemudian proses fiksasi. Merendam kain selama lima menit di larutan tunjang ataupun tawas. Agar menghasilkan warna hijau kehitaman dan kuning keemasan. Kemudian dikukus lagi untuk menguatkan warna,” tambah Miftah.
Setelah pewarnaan ecoprint, pembatikan motif cerita rakyat dan menutup hasil warna ecoprint dengan malam. Kemudian dicelupkan pada air rebusan kayu tinggi.
Proses pencelupan tersebut dilakukan selama lima kali untuk memperoleh warna tajam. Jika telah mendapat warna yang sesuai, proses terakhir adalah pelodoran atau merebus kain untuk menghilangkan malam yang menempel.
Meskipun belum diproduksi masal, Miftah menuturkan, kain yang dihasilkan memiliki banyak peminat. Diproduksi sesuai dengan pesanan.
Harga kain tenun dua meter Rp 1,5 juta. “Karena motif dan hasil warna tidak bisa sama dengan produk lain,” ungkap Miftah. (cr7/iwa/fj)