GUNUNGKIDUL – Gagal panen melanda Gunungkidul. Tahun ini, bahkan, gagal panen disebut terburuk dalam sepuluh tahun terakhir. Penjelasan itu disampaikan Kepala Bidang Ketahanan Pangan Dinas Pertanian dan Pangan Pemkab Gunungkidul Fajar Ridwan.

Pada 2018 lalu dinyatakan tidak ada puso pada musim tanam kedua. Saat ini, dari lahan pertanian di 18 kecamatan terdapat lahan di 10 kecamatan yang terancam gagal panen.

Luasan lahan persawahan di sepuluh kecamatan di Gunungkidul yang terancam gagal panen sangat beragam. Semin seluas 75 hektare, Patuk 194 hektare, Karangmojo 10 hektare, Ngawen 35 hektare, Girsubo 6 hektare, Wonosari 2 hektare, Playen 12 hektare, Ponjong, 32 hektare, Nglipar 8 hektare, dan Gedangsari seluas 25 hektare.

”Data terbaru, tidak sampai 500 hektare tanaman mengalami puso. Namun demikian, tahun 2019 pada M2 (musim tanam kedua) mengalami puso terbesar dalam sepuluh tahun terakhir,” kata Fajar saat dihubungi, Jumat (14/6).

Seorang petani di wilayah Kecamatan Patuk, Jumari, mengatakan, musim tanam kedua tahun ini hasilnya sangat buruk. Batang padi mengering. Batang padi pun akhirnya dimanfaatkan untuk pakan ternak.

”Lahan dua petak milik saya ini, terlihat berisi. Tetapi setelah dikeplekke (ditampi), kabur semua. Biasanya dapat sepuluh liri (karung). Untuk sekarang, wassalam,” kata Jumari.

Musim kemarau memang sulit diprediksi. Hal itu sangat berpengaruh dalam pemilihan jenis bibit padi yang akan ditanam. Dua bidang lahan milik Jumari menggunakan dua jenis bibit padi. Salah satunya jenis berumur pendek yang dapat dipanen dalam tiga bulan. ”Meski berumur pendek tapi tetap juga hasilnya minim karena tidak ada air,” ucapnya.

Cadangan untuk kebuthan pangan baik pemerintah maupun di tingkat petani dinyatakan masih cukup. Fajar mengklaim aman.

Pemkab Gunungkidul menganggarkan menyediakan cadangan beras 18 ton. Dananya dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). ”Untuk yang sembilan ton sedang diajukan melalui APBD kabupaten,” ujarnya.

Sedangkan cadangan pangan di tingkat petani, menurut Fajar, juga tidak sampai masuk dalam grafik merah. Dari total produksi sebesar 290 ton di 2018, sebanyak 47 persen di antaranya masuk dalam stok petani.

”Sebanyak 47 persen itu cadangan pangan untuk dikonsumsi sendiri. Jadi, ini masih aman meskipun pada MH2 (musim tanam kedua) mengalami puso,” ungkapnya.

Menurut Fajar, fenomena puso adalah siklus tahunan. Kondisi tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Terlebih, masyarakat sudah hapal dengan istilah larang pangan (ketidakcukupan pangan).

Meski demikian, musim yang tidak menentu tetap harus diwaspadai. ”Tentu pemerintah memonitor pergantian musim yang tidak menentu. Di mana tahun ini musim kemarau datang lebih awal. Tapi, jika melihat cadangan pangan, baik itu pemerintah maupun tingkat petani, tidak perlu ada yang dikhawatirkan,” tegasnya. (gun/amd/zl)