GUNUNGKIDUL – Karut-marut dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) sekolah menengah atas (SMA) Tahun Ajaran 2019/2020 belum usai. Terbaru, kurangnya sosialisasi aturan PPDB membuat sebagian orang tua kebingungan. Sebagian calon siswa (casis) harus terlempar dari seluruh sekolah pilihan saat mendaftar. Padahal, nilai ujian nasional (NUN) mereka tinggi.

Pepniyati, seorang wali murid mengungkapkan, anaknya memiliki dua pilihan sekolah saat mendaftar. Dalam pilihan pertama, anaknya kalah bersaing. Lantaran nilai casis lainnya lebih tinggi. Tragisnya, anaknya juga kalah bersaing di pilihan kedua. Yang mengagetkan, anaknya kalah bersaing dengan calon siswa (casis) lain yang nilainya jauh lebih rendah. Dengan begitu, anaknya gagal melanjutkan pendidikan di dua sekolah favoritnya.

”Anak saya nilainya 36,4,” keluhnya saat ditemui di SMAN 2 Wonosari Senin (24/6).

Merujuk aturan PPDB versi lama, kata Pepniyati, casis yang terlempar otomatis bergeser terdaftar ke sekolah pilihan kedua. Dengan catatan memiliki NUN yang bersaing. Namun, aturan itu tak berlaku dalam PPDB kali ini.

Sebagai orang tua, warga Kecamatan Rongkop ini sempat kelabakan. Dia berupaya mencari berbagai informasi. Hasilnya, NUN memang bukan jaminan dalam sekolah pilihan kedua. Casis dengan NUN rendah tetap diprioritaskan. Oleh sekolah yang dijadikannya sebagai pilihan pertama. Sementara, casis yang menjadikannya pilihan kedua, seperti anak Pepniyati, tidak dikategorikan prioritas.

”Kalau ada perubahan aturan, pihak terkait seharusnya memberikan sosialisasi,” kritiknya.

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMA 2 Wonosari Rinawati membenarkan perihal perubahan aturan PPDB. Menurutnya, siswa harus memindah secara manual ke sekolah kedua jika gagal di pilihan pertama. Agar sekolah kedua itu menjadi pilihan pertama.

”Jadi, siswa harus log in lagi dan mengganti pilihan pertamanya,” ujarnya.

Terkait minimnya sosialisasi, Rinawati tak menampiknya. Dia berdalih sekolah kesulitan melakukan sosialisasi secara langsung. Sebab, pendaftaran PPDB secara online. Orang tua jarang ke sekolah untuk mencari informasi. Padahal, sekolah telah menyiapkan perangkat komputer dan tenaga pendamping jika siswa ingin mengganti pilihan.

”Orang tua merasa cukup mendaftar di rumah,” katanya. (gun/zam/fj)