LEWAT Dekrit 5 Juli 1959, Presiden Soekarno memberlakukan kembali UUD 1945. Soekarno memulai orde yang disebut Demokrasi Terpimpin. Orde Demokrasi Terpimpin ini dilandasi konsep politik Nasakom. Nasakom merupakan konsepsi politik Soekarno. Menyatukan tiga unsur mewakili tiga faksi terbesar dalam politik Indonesia kala itu. Yaitu kelompok Nasionalis, Agama dan Komunis ke dalam sebuah pemerintahan kooperatif. Sebuah pemerintahan dari semua unsur dan kekuatan politik bekerja sama di bawah kepemimpinan Soekarno.
Dengan kata lain, pemerintahan yang dibayangkan Soekarno adalah sebuah pemerintahan gotong royong. Bersatu atas dasar konsensus bersama dari semua kekuatan politik saat itu.
Narasi yang dibangun untuk mendukung gagasan itu adalah revolusi belum selesai. Bangsa Indonesia telah salah arah terjebak pada praktik demokrasi liberal ala barat. Lebih “didasarkan pada konflik inheren”. Tidak sesuai dengan gagasan harmoni sebagai keadaan alami hubungan antarmanusia yang dihayati bangsa Indonesia.
Walhasil, Nasakom dibangun berlandaskan konsensus semua unsur politik. Melebur bersama dalam satu pemerintahan kooperatif dan gotong-royong. Ini dianggap konsep yang lebih sesuai bagi Indonesia.
Praktiknya, Demokrasi Terpimpin, sebagaimana tergambar dari namanya, kekuasaan pemerintahan dijalankan secara terpusat di bawah kendali sang pemimpin. Presiden Soekarno sendiri merupakan Pemimpin Besar Revolusi. Semua jabatan pemerintahan di eksekutif, legislatif, dan yudikatif berada di bawah kendali Presiden.
Sedemikian kuat kekuasaan Presiden sehingga siapapun yang akan menjabat sebagai ketua MPR, ketua DPR atau pimpinan di lembaga legislatif hanya bisa menduduki posisinya tersebut atas restu Presiden. Bahkan pada lembaga yudikatif seperti Mahkamah Agung, ketuanya dijadikan menteri. Semata-mata agar bisa dikontrol oleh presiden.
Bagaimana dengan partai politik? Partai yang mempunyai hak hidup adalah partai-partai yang mendukung format Demokrasi Terpimpin dan ideologi Nasakom. Partai-partai yang tidak setuju dibubarkan. Alasannya terlibat pemberontakan alias makar. Masjumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) adalah korbannya.
Demokrasi Terpimpin berdiri di atas ilusi. Semua unsur politik seharusnya melebur ke dalam satu poros untuk bekerjasama di bawah satu kepemimpinan. Semua partai politik wajib bersama-sama berpartisipasi menyukseskan Demokrasi Terpimpin dan Nasakom.
Selanjutnya, tokoh-tokoh politik penentang Demokrasi Terpimpin dan Nasakom dipenjarakan. Tanpa proses peradilan dan kejelasan apa kesalahannya. M. Natsir, Buya Hamka, dan Sutan Sjahrir adalah contoh untuk sekedar menyebut beberapa nama.
Tuduhan yang dialamatkan kepada mereka adalah makar terhadap negara. Kebanyakan mereka dibebaskan oleh Soeharto pasca peristiwa Gerakan 30 September. Beberapa yang lain, seperti Sutan Sjahrir meninggal dalam masa penahanan.
Itulah sekelumit pengalaman bangsa Indonesia membangun sistem Demokrasi Terpimpin. Sebuah praktik demokrasi yg mengharamkan adanya oposisi. Semua elemen bangsa, terutama partai politik, dipaksa menjadi satu poros.
Tidak tersedia pilihan lain. Semua dipaksa melebur menjadi satu dalam kepemimpinan tunggal. Ragam dan perbedaan ideologi dikesampingkan atas nama persatuan. Tidak ada ruan mengambil sikap yang berbeda. Oposisi diharamkan. Berbeda berarti makar.
Merenungkan kembali penggalan sejarah pada masa Demokrasi Terpimpin itu sembari mencermati kondisi kita saat ini, mungkin kita bisa memetik hikmah dan pelajaran. Meski tak secara persis sama, namun ada banyak kemiripan kondisi di antara keduanya. Ditandai dengan kekuasaan yang diakses secara gotong royong.
Semua kekuatan politik dijadikan atau berusaha menjadi bagian dari kekuasaan. Pemenang pemilu sebagai calon penguasa nampaknya enggan terhadap kekuatan penyeimbang. Sementara itu, yang kalah justru punya nafsu besar ikut dalam poros yang sama bersama pemenang. Mungkin karena menjadi oposisi itu dirasa terlalu berat. Ibarat harus berpuasa sehingga lebih baik bergabung ehingga bisa bersama-sama menikmati kekuasaan.
Narasi yang dibangun terkesan positif. Mengedepankan persatuan, menghindari perpecahan melalui kebersamaan dan sejenisnya. Walau sesungguhnya cuma bentuk lain dari bagi-bagi kekuasaan. Kursi dan jabatan.
Siapa yang akan menjadi menteri, ketua dan pimpinan DPR serta ketua dan pimpinan MPR. Bahkan bila perlu diatur juga siapa yang akan jadi pimpinan lembaga legislatif seperti MA dan MK. Atau lebih jauh siapa yang menjadi pimpinan Komisi-komisi Negara. Semuanya itu dilakukan agar semuanya bisa harmonis. Tidak mengganggu sistem.
Tenggelam dalam narasi semacam itu akibatnya tidak ada yang bersemangat mengambil peran oposisi. Apalagi dalam kesesatan berpikir. Oposisi dianggap barang tidak terhormat. Oposisi emoh bersama-sama bergotong royong membangun bangsa. Oposisi dianggap antipersatuan. Oposisi berarti mbalela. Tinggal tunggu saatnya, menjadi oposisi dapat dianggap makar.
Ada yang beranggapa sejarah dipenuhi repetisi dan pengulangan. Tidak mengherankan apa yang terjadi di masa Demokrasi Terpimpin itu tiba-tiba terasa kontekstual dengan apa yang kita hadapi hari-hari ini.
Kalau proses dan dinamika demokrasi menghasilkan forma tanpa oposisi dan check and balances, maka hasilnya adalah rezim yang otoriter. Dalam format demokrasi tanpa oposisi, kritik terhadap pemerintah diposisikan tindakan memecah belah yang harus ditindak. Kritik diposisikan sebagai delik yang akan dicari-carikan pasalnya. Kalau kondisinya seperti itu, maka yang akan menjadi kontrol terhadap kekuasaan adalah rakyat.
Khusus partai-partai yang pragmatis dan oportunis yang suka rela menenggelamkan diri dalam kesesatan berpikir dan hanya berorientasi pada kekuasaan, ingatlah para pemilih mencermati dan mencatat perilaku Anda. Kalau berkhianat terhadap pemilih, maka pemilih akan menghukum Anda dalam pemilu berikutnya. (ila)
*)Penulis adalah pengamat politik