KEHADIRAN situs jejaring sosial (social networking site) atau sering disebut dengan media sosial (social media) seperti Facebook, Twitter, dan Skype merupakan media yang digunakan untuk memublikasikan konten seperti profil, aktivitas, atau bahkan pendapat pengguna juga sebagai media yang memberikan ruang bagi komunikasi dan interaksi dalam jejaring sosial di ruang siber (Nasrullah, 2014: 36-37).

Sebutan bagi para pengguna media sosial yang aktif kini bernama netizen, kehadiran netizen yang sering berkomunikasi maupun berinteraksi di media sosial menjadi semakin heboh, karena netizen sering membuat peristiwa yang awalnya dianggap biasa saja, menjadi luar biasa.

Selain itu juga, netizen kini saling berlomba-lomba untuk memviralkan hal apapun itu yang dianggap sensasional. Bahkan tak jarang, netizen menjadi raja yang pendapatnya pun sulit untuk dibantah, dan selalu menganggap dirinya sebagai pihak yang selalu benar.

Setiap kali ada peristiwa yang menjadi buah bibir, pasti akan selalu dikomentari oleh netizen. Bahkan untuk mengetahui apakah peristiwa itu salah atau benar, maka netizen lah yang akan menentukannya. Oleh karena itu dapat dikatakan kini netizen lah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di media sosial. Begitu pun dengan saat ini, ketika semua media massa dan online dipenuhi dengan berita tentang sengketa hasil pilpres di Mahkamah Konstitusi, netizen pun ikut meramaikan dengan ejekan yang memancing para pengguna media sosial lainnya utuk memberikan penilaian benar atau salah terkait dari sidang tersebut. Padahal sebenarnya, yang berkuasa dalam sidang tersebut bukanlah netizen. Namun demikian, nampaknya hal itu tidak pernah diperdulikan oleh netizen.

Supremasi (kekuasaan tertinggi) dalam sidang sengketa hasil pilpres yang awalnya berada di tangan Mahkamah Konstitusi, kini supremasi tersebut berada di tangan netizen yang maha benar. Setiap pernyataan yang keluar dari mulut para saksi ataupun dari para pihak lainnya yang berada di sidang tersebut, selalu dijadikan sebagai bahan ejekan oleh netizen. Sehingga hal tersebut pada akhirnya,membuat media sosial menjadi tempat untuk mengadili sesuatu yang dianggap salah, atau mengadili sesuatu yang dibuat seolah-olah salah.

Misalnya netizen yang mendukung Prabowo dan Sandiaga Uno akan mengejek tingkah laku, maupun cara bicara yang dilakukan oleh pihak Jokowi dan Ma’ruf Amin. Begitu pun sebaliknya, bagi netizen yang mendukung Jokowi dan Ma’aruf Amin akan mengejek tingkah laku, maupun cara bicara yang dilakukan oleh pihak Prabowo dan Sandiaga Uno. Terlebih lagi, saat sidang tersebut para saksi yang berasal dari kedua pihaksering mengeluarkan pernyataan yang kontroversial, sehingga pada akhirnyapara saksi tersebut kini menjadi santapan empuk bagi para netizen untuk dihujat.

Trial by the Press dan Trial by the Netizen

Trial by the press singkatnya berarti pers menuduh atau tepatnya mengadili seseorang sebagai pihak yang bersalah sebelum pengadilan memutuskan ia bersalah atau tidak. Artinya seseorang divonis bersalah oleh media, dan media merasa sebagai pihak yang mempunyai legitimasi mengadili. Lepas dari niat baik media untuk mengupas masalah-masalah korupsi, tidak sedikit media massa telah menuduh seseorang terlibat korupsi, padahal pengadilan belum memutuskan bersalah atau masih dalam proses penyidikan. Kasus ini tentu saja, sebuah perilaku yang berat sebelah karena media massa bukan lembaga pendidikan (Nurudin, 2009: 263-264).

Pada saat sidang sedang berlangsung, terkadang ada beberapa institusi media yang memberitakan fakta-fakta yang tidak imparsial. Kecenderungan pers untuk mengonstruksi berita yang tidak seimbang, menyebabkan pers membuat seolah-olah lebih cerdas daripada Mahkamah Konstitusi.

Kini justru netizen pun mengikuti tradisi lama yang sering dilakukan oleh pers tersebut. Netizen seolah-olah menjadi hakim yang paling adil di media sosial, netizen berhak menilai salah atau benarnya, dan netizen tidak peduli dengan proses hukum yang sedang berlaku. Sehingga perilaku yang dilakukan oleh netizen tersebut, menciptakan sebuah istilah baru yang disebut dengan trial by the netizen. Memang tidak ada masalah apabila netizen menyampaikan pendapatnya di media sosial mengenai sidang tersebut.

Akan tetapi, bukankah salah atau benar itu hanya boleh ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi? Karenanya netizen harus lebih bijak dalam menyebarkan informasi mengenai sidang sengketa hasil pilpres tersebut. Netizen juga jangan menyebarkan potongan video, yang dilengkapi dengan pendapat yang tendensius. Netizen harus menahan diri untuk melakukan ejekan yang tidak penting, dan netizen juga harus menghargai tugas Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan hasil dari persidangan tersebut.

Menghilangkan Zelotisme Netizen

Orang yang berhasrat memenuhi kebutuhan, meraih sampai merebut sesuatu sesuai kebutuhan atau keinginan dirinya sering disebut sebagai zelotes. Sedangkan jika zelotes dijadikan suatu paham, pendirian bahkan keyakinan disebut sebagai zelotisme. Dalam pergaulan masyarakat, paham ini kemudian menjiwai sekelompok orang dalam mengejar sesuatu (Mangunhardjana, 1997; Nurudin, 2009: 258-259). Paham zelotisme pada saat ini sedang dianut oleh netizen yang ada di negeri kita. Para netizen tersebut sering menghalalkan segala cara, agar pendapatnya dapat dipercaya oleh para pengguna media sosial lainnya. Netizen tidak akan pernah peduli dengan UU ITE, dan mereka akan terus menerus memaksakan kehendaknya, sehingga mereka merasa puas terhadap tindakan menyimpang yang mereka lakukan.

Netizen yang berkuasa di media sosial itu mempunyai dua prinsip, yaitu survival of the fittest (siapa yang kuat dialah yang menang), dan homo homini lupus(manusia adalah serigala bagi sesamanya). Artinya, ketika status yang dibuat di media sosial itu bisa memengaruhi orang banyak, maka ia menjadi netizen yang kuat dan sulit untuk dikalahkan oleh siapapun. Sehingga semakin kuat kemampuan untuk memengaruhi orang lain, maka ia akan menjadi serigala yang selalu menerkam para pengguna media sosial yang tidak berdaya. Oleh karena itu,zelotisme yang pada saat ini sedang dianut oleh netizen harus segera dihilangkan, dan netizen harus lebih bijaksana dalam menyampaikan pendapat.Karenanya, mulai dari saat ini marilah kita hargai proses hukum yang sedang berjalan, dan janganlah saling mencaci maki. (ila)

*Penulis adalah mahasiswa Universitas Serang Raya, Fakultas Ilmu Sosial, Ilmu   Politik dan Ilmu Hukum (FISIPKUM), Prodi Ilmu Komunikasi, Konsentrasi Public Relations.