JOGJA – Stasiun Klimatologi (Staklim) Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Jogjakarta menetapkan status awas kekeringan untuk sejumlah wilayah di Jogjakarta. Parameternya, wilayah tersebut mengalami hari tanpa hujan (HTH) lebih dari 61 hari. Curah hujan rendah, di bawah 10 mm per 10 hari.
Kondisi tersebut telah berlangsung sejak awal Juli. Wilayah Bantul yang mengalami awas kekeringan meliputi Kecamatan Kasihan, Jetis, Imogiri, Pajangan, Pandak, Bantul, Sewon, Banguntapan, dan Piyungan. Gunungkidul meliputi Kecamatan Tanjungsari, Paliyan, Girisubo, Rongkop, Karangmojo, Ponjong, Wonosari, Saptosari, Semanu, dan Tepus.
‘’Kulonprogo di Kecamatan Panjatan. Kabupaten Sleman di Kecamatan Tempel. Potensi kekeringan meteorologis terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Bisa bulanan, dua bulanan, dan seterusnya,” kata Kepala Kelompok Data dan Informasi, Staklim BMKG Jogjakarta, Etik Setyaningrum (4/7).
Staklim BMKG Jogjakarta juga mendata sejumlah wilayah dengan status siaga. Bantul meliputi Pleret, Piyungan, Bambanglipuro, Pundong, Dlingo, Kretek, Kasihan, dan Sedayu. Kulonprogo meliputi Kokap, Pengasih, dan Girimulyo. Gunungkidul meliputi Patuk, Purwosari, Ngawen, Nglipar, Playen, dan Semin.
Untuk Sleman, status siaga mendominasi seluruh kecamatan. Meliputi Berbah, Prambanan, Ngemplak, Cangkringan, Seyegan, Moyudan, Minggir, Kalasan, Ngemplak, Pakem, Depok, Gamping, Turi, Godean, Sleman, dan Ngaglik.
‘’Status siaga karena HTH terjadi lebih dari 31 hari. Acuan curah hujan juga di angka 10mm per 10 hari. kondisi ini (kekeringan) secara periodik menguat setiap bulan. Perkiraan kami, puncak musim kemarau pada Agustus,” ujar Etik.
Walau begitu, bukan berarti Jogjakarta tidak diguyur hujan. Staklim BMKG memprediksi tetap ada hujan pada medio Juli hingga Agustus. Namun curah hujan tersebut tergolong sangat rendah. Kisaran nol hingga 10 mm per bulan.
‘’Untuk pantauan anomali, kondisi El Nino lemah. Sedangkan Anomali SST (sea surface temperature) di Samudera Hindia menunjukkan kondisi Indian Ocean Dipole (IOD) positif. Kondisi ini diperkirakan berlangsung hingga Oktober, November, Desember,” kata Etik.
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (Dispertan) DIJ telah mengambil langkah strategis. Berupa peralihan pola tanam dari padi ke palawija dan hortikultura. Langkah ini guna menyiasati konsumsi air berlebih.
Kepala Dispertan DIJ Sasongko memastikan jenis tanaman kering tetap memiliki nilai ekonomi tinggi. Asas ekonomi yang digunakan adalah angka dan biaya produksi dengan hasil panen. Jika petani tetap memaksakan tanaman padi maka potensi kerugian semakin tinggi.
‘’Kami sudah ketemu dengan beberapa petani. Rata-rata memang sudah beralih jenis palawija dan hortikultura. Jenis tanaman tersebut tidak membutuhkan banyak air. Sehingga kekeringan tidak menjadi masalah,” jelasnya.
Dia mencontohkan, kawasan Gunungkidul, sejumlah sawah beralih tanam ubi kayu. Adapula peralihan menjadi tanaman jagung, cabai, dan bawang merah. Komoditi buah juga menjadi pilihan seperti semangka dan melon.
‘’Di satu sisi, pola tanam selang seling juga menjaga kualitas tanah. Pola tanam yang benar memang seperti ini,” ujarnya.
Kepala Staklim BMKG Jogjakarta, Reni Kraningtyas mengatakan kemarau saat ini dikategorikan kemarau skala panjang dan ekstrem. Petani diharapkan menyesuaikan tanaman dengan cuaca tersebut. (dwi/cr6/iwa/fj)