Sudah menginjak sembilan tahun Sanggar Dua Atap berdiri. Berbagai bentuk seni menjadi wadah eksplorasi saat mendalami kebudayaan Jawa. Mulai pementasan tari, karawitan, teater, sastra, hingga musik yang diwariskan para tetua. Mereka berusaha menghadirkan kembali di zaman milenial ini.

AHMAD SYARIFUDIN, Mungkid

Hampir tiap hari anak-anak menggeluti bidang seni yang disukai. Salah satunya seni tari. Ditemani nuansa gending Jawa yang berusaha diikuti para penari, Dharma Wijaya, pendiri sanggar ini pun berkisah.

“Sebagai generasi muda, perlu diingat, budaya adalah warisan turun temurun dari nenek moyang kita. Banyak sekali yang bisa dilakukan untuk melestarikannya,” jelas saat ditemui Radar Jogja.

Sanggar Dua Atap dimulai dari  kelompok kecil di Ngluwar, Magelang, mengenalkan seni dan kebudayaan Jawa pada anak-anak. Ia sadar merekalah yang nanti menjadi generasi selanjutnya dalam melestarikan kebudayaan yang kian lama kian tergerus oleh modernisasi.

“Yang kita tuju sebetulnya adalah pembentukan karakter anak melalui media seni dan budaya. Dengan pembentukan karakter sejak dini, kami harapkan tidak semakin banyak orang Jawa yang kelangan Jawane di masa mendatang,” ungkapnya.

Dharma tidak sendiri menginisiasi sanggar ini. Ia dibantu istrinya Ria Ayu Wahyuni, alumni Seni Tari ISI Jogjakarta, menjalankan sanggar yang kini dikenal di berbagai ajang kesenian di Magelang. Selain menghidupkan sanggar, juga koreografer andal Didik Nini Thowok. “Sanggar ini juga sebagai bentuk pengaplikasian ilmu istri saya,” jelasnya.

Ia mengakui, tentu caranya tidak sama dengan nenek moyang kita dahulu. Karena pergeseran waktu akan mengubah tentang tata cara menghormati dan melestarikan budaya itu sendiri. “Pada intinya menanamkan rasa bangga terhadap budaya kita sendiri. Itu yang terpenting,” katanya.

Isu lingkungan sering menjadi inspirasi karya-karya mereka dipentaskan. Lingkungan adalah hal terdekat dengan kehidupan kita, tetapi karena saking dekat dan terbiasa, maka sering lingkungan justru terabaikan secara perlahan. “Padahal, lingkungan menjadi instrumen penting dalam manusia menjalani kehidupannya,” ungkapnya.

Tiap empat bulan sekali, sanggar ini mengadakan Jagongan Lembah Jawa Dwipa. Dalam jagongan itu, berbagai pementasan maupun diskusi dihelat untuk merefleksikan apa yang didapatkan selama mengikuti program. “Topik yang diangkat bermacam-macam biar tidak bosan,” ujar Dharma.

Menghidupkan sanggar membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dharma membiayai kegiatan sanggar dengan membuka kelas. Ada kelas karawitan dan tari untuk anak-anak dan remaja. Saat ini 126 murid di bawah asuhannya. Selain itu, ia juga menyisihkan 20 persen dari pendapatan ketika pentas di luar, untuk menambah pemasukan.

Dari mengelola sanggar ini, Dharma dan para seniman di bawah asuhannya bisa menyuguhkan berbagai pementasan menarik. Salah satu suguhan paling besar adalah Sendratari Bhumi Mahagelang yang melibatkan 200 penari dan perawit. Terakhir Borobudur International Art Perform Festival 2019 dan Festival Lima Gunung XVIII. (laz/fj)