Berangkat dari kesulitan mendapatkan air untuk memandikan warga yang meninggal dunia, dua pedukuhan di Desa Hulosobo, Kaligesing, Purworejo kini memiliki aliran air bersih yang rutin. Mereka tidak lagi harus berjibaku mencari air untuk kebutuhan pokok, karena air yang sudah mengalir itu lancar hingga rumah mereka.

BUDI AGUNG, Purworejo

Adalah Sadim, 63, salah seorang tokoh masyarakat setempat yang membuka kembali hasil survei dari tim kuliah kerja nyata (KKN) UGM tahun 1985, yang menyatakan ada sumber air bersih yang bisa dimanfaatkan untuk warga. Keberadaannya cukup jauh, 4,5 kilometer dari pemukiman dan berada di tengah hutan perbatasan dengan Desa Donorejo.

“Harus berjuang memandikan orang mati itu terjadi di tahun 1996. Dari situ saya teringat hasil survei KKN UGM. Saya mengajak warga yang lain sebanyak 18 orang, awalnya untuk membawa air itu ke rumah warga,” kata Sadim kemarin.

Terbatas secara ekonomi, membuat Sadim menawarkan pinjaman uang tagihan listrik kepada warga untuk pendanaan awal. Rangsangan ini mendapat sambutan menarik karena sebelum jatuh tempo pembayaran listrik, uang yang digunakan sudah kembali.

“Kami memanfaatkan sumber mata air Setotok. Airnya memiliki debit yang baik dan cukup untuk memenuhi kebutuhan air, khususnya di musim kemarau,” tambahnya.

Dikelola dengan manajemen yang biasa, hingga saat ini paguyuban pengguna air yang disebut Tirta Usaha tetap berjalan baik. Tidak ada inovasi baru yang dipergunakan. Tidak ada sistem meteran dan yang digunakan untuk biaya perawatan adalah iuran setiap selapan (35 hari) senilai Rp 5.000.

“Sebenarnya kalau pakai meteran bisa ada hasilnya. Selain itu airnya juga tidak terbuang percuma. Tapi tidak mudah untuk mengubah kebiasaan itu,” tambahnya.

Dalam pendistribusiannya, pengelola membuat bak-bak pembagi yang terdiri atas beberapa tempat. Dari bak pembagi ini warga mengusahakan sendiri alat untuk mengalirkan. Baik itu selang maupun paralon.

Sadim sendiri sebenarnya berusaha untuk bisa menjadikan pengelolaan air itu sebagai sebuah usaha bersama. Namun niat itu belum terlaksana karena tidak mudah untuk memberikan pemahaman bagi anggota yang lain.

“Kami belum tahu sampai kapan pengelolaan seperti ini akan berjalan. Hanya kami tetap berusaha menjaga kekompakan warga pengguna air,” katanya.

Kepala Desa Hulosobo Bangun Tri Utomo mengaku tidak akan banyak menyentuh paguyuban tersebut. Hanya saja pihaknya akan menyiapkan sarana jalan yang digunakan untuk mencapai bak-bak penampungan yang ada.  “Masuk secara dalam tidak, karena ini menjadi sebuah warisan. Kami mengalir saja,” katanya.

Pihaknya malah berencana membangun jaringan baru memanfaatkan pamsimas yang kurang terkelola dengan baik. Sebagai pejabat kades anyar, dia ingin pengelolaan yang  baru dengan memanfaatkan sumber mata air baru akan menjadi peluang bagi keberadaan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes).

“Kami memiliki empat padukuhan dan hanya dua padukuhan yang bisa menikmati air dari Tirta Usaha ini,”  tambah Bangun.  Dia yakin dengan pola pengelolaan modern akan menjawab kebutuhan air bagi warga yang belum tersentuh air bersih. (laz/fj)