Dari pengalaman di negeri orang, Sugeng Prawoto belajar tentang industri logam. Kini, produk Tins Art yang didirikannya menembus pasar ekspor.

SEVTIA EKA N, Sleman, Radar Jogja

TAK terdengar suara ”berisik” ketika memasuki bangunan itu. Padahal, bangunan sederhana itu memproduksi berbagai kerajinan logam. Dari medali, piala, kalung, cincin, hingga gantungan kunci.

”Semuanya pakai mesin cor khusus,” kata Sugeng Prawoto, pemilik Tins Art, bangunan itu, minggu (21/7).

Home industry yang terletak di Noyokerten, Sendangtirto, Berbah, Sleman, itu memang cukup modern. Jauh berbeda dengan tempat produksi serupa pada umumnya. Home industry yang berdiri pada 2007 itu sudah menggunakan teknologi modern. Proses pengolahan logam hingga pencetakannya dengan teknologi serbamesin.

”Satu mesin sehari bisa memproduksi 1.000 piece produk,” sebut Sugeng tentang kelebihan teknologi mesin cor yang digunakannya.

Bahkan, Tin Art bisa memproduksi produk logam custom. Pernak-pernik dan detail motif produk logamnya bisa sesuai dengan pesanan konsumen.

Keahlian Sugeng yang terlihat dalam produknya tidak diperolehnya dengan instan. Pria 54 tahun itu 11 tahun bekerja di sebuah perusahaan logam di Korea Selatan. Berbekal pengalaman di Negeri Ginseng itu, Sugeng memiliki keahlian di bidang pengolahan logam.

”Banyak belajar ketika bekerja di Korea,” kenangnya.

Sehari-hari, Sugeng banyak melayani pesanan konsumen. Namun, Sugeng juga memiliki berbagai produk sendiri. Produk-produk itu telah dipasarkan ke berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, sebagian produknya telah menembus pasar ekspor. Hanya, produknya yang dijual ke pasar luar negeri itu masih setengah jadi. Alias belum diwarnai dan dibentuk menjadi produk khusus.

”Yang mewarnai dan membentuk adalah pihak kedua yang memesan. Mereka juga yang menjualnya ke pasar ekspor,” ucap Sugeng menyebut pihak kedua pula yang mengetahui celah peluang ekspor.

Di dunia bisnis, industri pengolahan dan produksi logam sangat ketat. Bahkan, pelaku usaha lokal harus bisa bersaing keras dengan industri besar luar negeri. Terutama dari Tiongkok. Sebab, produk logam luar negeri menawarkan desain dan motif yang lebih menarik.

Karena itu, Sugeng berkiblat kepada pelaku industri logam dari Negeri Tirai Bambu itu. Terutama dalam pembuatan model kerajinan.

”Tiongkok yang paling mendominasi pasar internasional. Jadi, ya, harus jeli mengetahui tren modelnya di pasaran seperti apa,” katanya.

Sugeng juga bekerja sama dengan perguruan tinggi dalam pengembangan desain produk. Agar produknya bisa bersaing bahkan mengungguli Tiongkok.

Meski harus bersaing ketat, Sugeng tak kesulitan memperoleh bahan baku logam. Sebagian bahan baku berupa timah putih itu diperolehnya dari Semarang. Bahkan, Sugeng belakangan juga menjalin kerja sama dengan pengusaha Bangka Belitung.

”Bangka, kan, pusatnya timah,” tuturnya. (zam/rg)