Masyarakat Jawa kaya akan tradisi budaya yang erat kaitannya dengan kehidupan. Sejak bayi masih dalam kandungan ibu. Hingga dewasa. Setiap adat memiliki ciri dan makna tersendiri.

WINDA ATIKA IRA PUSPITA, Jogja

TRADISI itu masih lestari. Karena warga sangat peduli. Di Kelurahan Patehan, Kraton, Kota Jogja. Setiap tradisi yang digelar kian mengokohkan Patehan sebagai ikon kelurahan budaya. Senin (29/7) warga setempat menggelar adat tetesan dan tarapan. Di halaman kantor kelurahan. Tradisi ini merupakan kelanjutan dari adat mitoni dan tedak siten. Mitoni berasal dari kata pitu yang berarti tujuh. Sebagian orang menyebut sebagai tradisi tujuh bulanan. Adat ini ditujukan bagi pasangan suami istri. Saat sang istri hamil usia tujuh bulan. Mitoni bertujuan memohon doa kepada Tuhan agar si ibu dan janinnya diberi keselamatan dan dilancarkan proses persalinannya. Dilengkapi doa agar kelak si anak menjadi pribadi yang baik dan berbakti kepada kedua orang tua. Ada beberapa tahapan dalam tradisi mitoni. Diawali dengan sungkeman. Calon ibu dan ayah minta doa restu kepada kedua orang tua demi keselamatan proses persalinan. Lalu, siraman atau mandi bersih. Tujuannya menyucikan diri si ibu dan calon bayinya. Saat siraman si calon ibu dibalut kain batik lalu disiram dengan air bertabur kembang seteman. Air disiramkan menggunakan gayung dari batok kelapa.

Selanjutnya, ngrogoh cengkir. Cengkir adalah tunas kelapa. Simbol cikal bakal bayi yang kelak tumbuh dewasa. Kemudian, brojolan atau brobosan. Dilakukan oleh suami. Dua cengkir diluncurkan dari balik kain yang dipakai sang istri. Cengkir ini biasanya dilukis wajah Dewi Kamaratih sebagai lambang bayi perempuan yang cantik. Satunya lagi dilukis wajah Dewa Kamajaya yang melambangkan pria ganteng.

Prosesi berikutnya belah cengkir. Suami membelah kelapa muda sebagai lambang membukakan jalan calon bayi. Agar lahir sesuai jalannya.

Selanjutnya pantes-pantesan. Sang calon ibu berganti pakaian sebanyak tujuh kali. Setelah itu angrem. Pasangan suami istri menirukan ayam saat mengerami telur. Calon ayah dan ibunya didudukkan di atas tumpukan kain. Saat itulah si suami berikrar untuk tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Untuk menghidupi dan menyejahterakan istri dan bayinya.

Yang tak kalah unik adalah jualan dawet dan rujak. Orang yang akan membeli dawet atau rujak harus membayar dengan kereweng, berupa pecahan genting.

Dalam proses mitoni ada beberapa uba rampe yang perlu disiapkan. Semuanya serba tujuh. Misalnya bubur jujuh warna, aneka jajan pasar, tumpeng, dan lain-lain.

Warga Patehan juga telah menggelar tradisi tedak siten. Adat yang dilakukan kepada anak saat pertama kali belajar berjalan. Saat itu usia anak antara 7-8 bulan. “Budaya adiluhung itu kian tergerus perkembangan zaman. Kami nguri-uri kembali supaya hidup seperti semula,” ungkap Lurah Patehan Ngaji Emi. Prosesi adat itu kembali dikenalkan kepada publik. Agar tak terus dilupakan.

Tetesan dan tarapan saling berkaitan, tapi berbeda arti dan makna. Tetesan adalah khitanan atau sunatan bagi anak perempuan. Ini sebagai penanda peralihan masa kanak-kanak menuju masa remaja.

Sedangkan tarapan adalah prosesi anak remaja perempuan saat menstruasi kali pertama. Semua tradisi itu dimaksudkan untuk memohon keselamatan bagi sang anak. Agar selalu mendapat perlindungan dari Yang Maha Kuasa saat mengarungi kehidupan dunia. “Semua prosesi ini hanya sekedar simulasi. Dengan siraman dan ada sesajian. Supaya masyarakat tetap mengenal budaya kita,” tuturnya.

Tradisi dalam kehidupan masyarakat Jawa tak berhenti sampai di situ. Masih ada adat lamaran, dawuh ageng, dan lainnya. Emi berkomitmen menggelar setiap tahap tradisi kehidupan manusia. “Akan kami gelar tiap tahun. Sekaligus sebagai bentuk guyub rukun warga Patehan,” ujarnya.

Budayawan Angger Sukisno menyebut, upacara tradisi yang digelar di Patehan konon sudah dilaksanakan oleh nenek dan kakek moyang sejak Islam mulai masuk Pulau Jawa.

“Zaman dulu, ketika orang tidak melakukan adat itu (tetesan dan terapan, Red) takut remaja tumbuh kuntet atau tidak normal,” katanya.

Sebagaimana mitoni ada tahapan yang harus dijalani dalam upacara adat tetesan. Mulai membersihkan kemaluan wanita, mandi, dan minum jamu. Sedangkan proses pokok terapan dimulai dengan sungkeman, racik air dengan doa dicampur bunga, siraman, lalu pecah pamor agar aura si wanita keluar cantik. Ada juga prosesi minum jamu.

“Sesajian atau uba rampe dihadirkan bukan untuk syirik, musyrik atau tahayul. Tapi untuk memudahkan mengingat, ketika dulu orang belum bisa menulis dan membaca,” jelas Angger.

Bagi Pemerintah Kota Jogja, setiap tradisi itu memiliki makna edukasi. Untuk memberikan pemahaman akan pentingnya kesehatan reproduksi (wanita) melalui tradisi adat Jawa.

“Itulah makna tradisi itu di zaman sekarang,” ujar Wakil Wali Kota Jogja Heroe Poerwadi yang turut menyaksikan prosesi tetesan dan tarapan di Patehan.

Penting bagi para ibu, lanjut HP, sapaan akrabnya, untuk memberi pemahaman psikologis dan tanggung jawab kepada anak perempuannya. “Semoga anak semakin paham. Sehingga tahu posisi dan tanggung jawabnya saat beranjak dewasa,” harapnya.(yog/rg)