”Bahwa perhoeboengan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Poesat Negara Republik Indonesia, bersifat langsoeng dan kami bertanggoeng jawab atas negeri kami langsoeng kepada Presiden Repoeblik Indonesia. Kami memerintahkan soepaja segenap pendoedoek dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan amanat kami ini.”

——-

Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki peran sangat besar dalam birokrasi pemerintahan di Republik Indonesia. Sri Sultan Hamengku Buwono IX andil merancang konsep birokrasi yang diterapkan di negeri ini.

Sultan HB IX memiliki pemikiran hebat dalam merancang dan mengembangkan sistem pemerintahan yang demokratis. Saat pemerintah pendudukan Jepang sebelum tahun 1945, Sultan HB IX didaulat menjadi kepala pemerintahan di Yogyakarta dengan sebutan Koo. Beliau segera merancang bentuk pemerintahan yang melibatkan peran rakyat dalam pengambilan keputusan.

Sultan HB IX memadukan antara sistem pemerintahan tradisional yang otoriter dengan sistem demokrasi yang saat itu berkembang di negara-negara maju. Ide tersebut terwujud saat awal Kemerdekaan Republik Indonesia. Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yakni 18 Agustus 1945, Sri Sultan HB IX dan Paku Alam VIII segera mengirim surat yang ditujukan kepada Ir Soekarno dan Mohammad Hatta. Isi surat tersebut menegaskan mendukung proklamasi kemerdekaan tersebut.

Soekarno segera membalas surat itu. Pada 19 Agustus 1945, Soekarno mengeluarkan Piagam Kedudukan yang menegaskan Sultan HB IX dan Sri Paduka Pakualam VIII menjadi penguasa di Yogyakarta.

Bersama Sri Paduka Pakualam VIII, Sultan HB IX kemudian mengeluarkan maklumat mendukung berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 5 September 1945. Pernyataan itu sekaligus menjelaskan kedudukan Sultan HB IX sebagai raja di Kraton Yogyakarta Hadiningrat. Selain itu, mendeklarasikan wilayah Kraton Yogyakarta berstatus daerah istimewa yang berada di dalam NKRI. ”Bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat bersifat keradjaan adalah daerah istimewa Negara Republik Indonesia.”

Sultan HB IX menjadi pemegang kekuasaan di Yogyakarta. Dalam melaksanakan kewajibannya, Sultan HB IX menegaskan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Indonesia. ”Bahwa perhoeboengan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Poesat Negara Republik Indonesia, bersifat langsoeng dan kami bertanggoeng jawab atas negeri kami langsoeng kepada Presiden Repoeblik Indonesia. Kami memerintahkan soepaja segenap pendoedoek dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan amanat kami ini.”

Sultan HB IX mengambil langkah-langkah strategis. Sultan HB IX dan Paku Alam VIII merangkul semua kelompok masyarakat untuk kemudian dibentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) DIY. KNID dinyatakan merupakan bagian sistem dari pemerintahan DIY.

Langkah-langkah demokratisasi terus dilakukan. Demokratisasi dilaksanakan hingga tingkat paling bawah yakni desa.

Sultan HB IX memfungsikan KNID DIY sebagai badan perwakilan dalam sistem pemerintahan di Yogyakarta terhitung mulai 30 Oktober 1945. Sejak saat itu, setiap keputusan KNID tak hanya ditandatangani oleh ketuanya. Keputusan juga selalu ditandatangani Sultan HB IX dan Pakualam VIII. Penempatan KNID sebagai badan legislatif di dalam pemerintahan menunjukkan adanya keinginan Sultan HN IX untuk melakukan demokratisasi di dalam sistem pemerintahan Yogyakarta.

Sebagai kepala daerah, Sultan HB IX tidak memerintah secara monarkhi absolut. Tapi, monarkhi representatif. Sultan HB IX adalah eksekutif yang menjalankan keputusan KNID, yang merupakan wujud kehendak rakyat.

Bahkan, Sultan HB IX menghendaki sistem perwakilan dikembangkan dan tidak hanya diterapkan pada level pemerintahan DIY. Diterapkan di tingkat kabupaten hingga desa.

KNID tingkat kabupaten diakui sebagai badan legislatif. Pada 6 Desember 1945, diberlakukan aturan membentuk badan perwakilan di tiap-tiap desa yang disebut sebagai Dewan Kelurahan. Dewan Kelurahan mewakili seluruh rakyat di wilayah perwakilan untuk membicarakan program desa dan membuat peraturan tingkat desa.

Anggota Dewan Kelurahan dipilih oleh warga desa setempat. Syaratnya berusia lebih 18 tahun dan sudah enam bulan menjadi warga di desa tersebut. Masa bakti Dewan Kelurahan selama tiga tahun.

Konsep pemerintahan yang diterapkan Sultahn HB IX tersebut sangat demokratis. Konsep yang diterapkan di Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut lebih maju dibanding daerah lain di Indonesia. (*)