Susuhunan Paku Buwono II memulai tradisi baru penggunaan gelar penguasa Mataram. Sebutan Amangkurat tak lagi dipakai. Meski ayahnya bergelar Amangkurat IV atau Hamangkurat Jawi, sang putra lebih memilih gelar kakeknya, Paku Buwono I.

Ini nantinya diikuti raja-raja Mataram berikutnya. Termasuk saat Kerajaan Mataram tinggal menjadi cerita. Terbelah menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Lewat Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, raja-raja Surakarta mempertahankan gelar lama. Yakni Susuhunan Paku Buwono. Sedangkan Ngayogyakarta dengan sebutan baru: Sultan Hamengku Buwono. Kedua raja pecahan Mataram itu sama-sama memakai kata belakang Buwono. Maknanya tak ada perbedaan. Paku Buwono berarti pakunya jagad.  Hamengku Buwono artinya pemangku dunia.

Sejak naik takhta pada 2 Juni 1726, jauh sebelum Mataram pecah, Paku Buwono II merasa prihatin melihat kondisi Kartasura. Ibu kota Mataram selalu dipenuhi pertumpahan darah. Terutama setiap kali terjadi suksesi.

Ini memberikan sinyal Kartasura merupakan tanah yang sangar. Tidak memberikan berkah. Berangkat dari pemikiran itu, Paku Buwono II ingin memidahkan ibu kota Mataram. Dibentuklah tim survei. Dipimpin menteri pekerjaan umum Kerajaan Mataram. Tidak membutuhkan waktu  lama.

Lokasi calon ibu kota terletak di sebelah timur Kartasura. Mulanya di utara Kali Pepe. Namun keputusan terakhirnya, lokasinya di tenggara Keraton Surakarta sekarang. Sekitar daerah Bekonang, Sukoharjo.

Gagasan itu segera disosialisasikan. Beberapa kali pejabat Mataram mengadakan peninjauan. Meski idenya dari raja, tidak semua lantas setuju. Sejumlah kerabat mempertanyakan sumber dana untuk membiayai pemindahan ibu kota baru tersebut.

Pertimbangannya, kerajaan masih punya banyak utang. Mataram baru saja meneken perjanjian baru dengan VOC. Isinya kewajiban mengangsur utang ke Kompeni. Mataram harus membayar 10.000 real setiap tahun selama 22 tahun guna menutup tunggakan plus bunganya.

Kemudian 15.600 real untuk membiayai garnisun VOC yang ditempatkan di istana Kartasura. Berikutnya 100 koyan atau kurang lebih 1.700 metrik ton beras setiap tahun selama 50 tahun.

Keuangan Mataram semakin berat bila harus merealisasikan ide pindah ibu kota. Apalagi jika pemindahan itu didanai dengan cara utang ke VOC. Itu bakal menyulitkan perekonomian Mataram. Utang kerajaan semakin menggunung.

Pro dan kontra muncul di antara elite-elite Mataram. Kondisi itu rupanya dibaca oleh Batavia. Kompeni keberatan merealisasikan gagasan Paku Buwono II. Penolakan VOC dibungkus dengan bahasa halus. Sebaiknya, pemindahan ibu kota ditunda sampai raja mencapai umur dewasa. Maklum saat ide itu muncul, Paku Buwono II belum genap berumur 20 tahun.

Mendengar penolakan itu, Paku Buwono II tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Sebab, baginya pemindahan ibu kota itu didasarkan atas pemikiran supranatural. Hal sulit dipahami para petinggi VOC.

Laku spiritual yang dijalaninya memberikan petunjuk agar ibu kota dipindah. Raja mendapatkan wangsit. Ada dawuh (perintah, Red) dari leluhurnya. Kartasura harus dipindah. Itu demi menjaga keberlanjutan Dinasti Mataram.

Meski begitu, kegaduhan terus saja mengiringi Mataram. Negara Jawa tradisional ini sangat lemah. Baik aspek teknis maupun institusionalnya. Akibatnya menjadi rapuh. Keadaan itu diperparah perilaku keluarga kerajaan. Di mata Kompeni, mereka kerap bersikap tidak patriotik. Dampaknya muncul keruwetan di institusi yang rapuh tersebut. (zam/rg/bersambung)