JOGJA – Penyandang disabilitas tunanetra tidak boleh nglokro. Memiliki keterbatasan fisik justru harus menjadi nilai lebih. Salah satunya memiliki kepekaan dan daya ingat yang tajam. Ini pula yang menjadi pegangan para atlet catur tunanetra DIJ.
Pelatih sekaligus wasit Persatuan Catur Seluruh Indonesia (Percasi) DIJ Suranto menuturkan, atlet tunanetra memiliki kelebihan tersendiri. Selain daya ingat, juga punya fokus tinggi. Ini karena para atlet lebih tertuju pada permainan dan tidak terganggu visual sekitarnya.
“Catur itu beda dengan olahraga fisik. Benar-benar melatih berpikir dan fokus saat menjalankan bidak catur. Langkah yang mereka ambil harus efisien, karena permainan ini kan intinya di strategi,” jelas Suranto di sela-sela perlombaan catur tunanetra Badan Sosial Mardi Wuto, Minggu (4/8).
Percasi DIJ hingga saat ini memiliki 20-an atlet. Selain buta total, ada pula penderita low vision. Beberapa di antaranya pernah meramaikan kejuaraan daerah hingga Asian Paragames. Bahkan dalam waktu dekat, salah satu atlet Gayuh Satrio akan mengikuti Asian Paragames 2020.
Prestasi-prestasi ini terus digaungkan kepada atlet lainnya. Termasuk kepada tunanetra yang belum bergabung dalam Percasi. Tujuannya sebagai suntikan motivasi dalam menjalani aktivitas, sehingga tidak hanya berserah diri terhadap kondisi fisik.
“Catur itu melatih kesabaran yang juga sangat baik untuk otak kanan dan kiri. Paling bagus memang saat masih usia pelajar. Ya, intinya tidak nglokro atas keadaan tapi terus mengisi hidup dengan semangat dan aksi,” katanya.
Ketua Badan Sosial Mardi Wuto Sri Budi Astuti menuturkan, lomba bukan hanya sekadar kegiatan. Konsep utama perlombaan adalah terciptanya suasana srawung. Terutama para penyandang tunanetra yang berasal dari Jogjakarta.
Selain untuk berkomunikasi juga menjadi ajang cerita dan keluh kesah. Terutama terkait pelayanan sosial dan fasilitas publik. Untuk selanjutnya merumuskan secara bersama atas solusi. Harapannya ada peningkatan fasilitas yang memadai.
Walau begitu sejumlah jaminan kesehatan khusus dan jaminan sosial tergolong lancar. Keluhan hanya sebatas akses publik. Salah satunya akses menuju gedung publik. Meski bisa diakses, harus berjibaku untuk mengakses.
“Silaturahmi antarteman seperti ini sangat penting. Tidak hanya agar saling mengenal satu sama lain, tapi juga nguda rasa,” katanya.
Terhitung hingga saat ini anggota dari Mardi Wuto mencapai 450 orang. Terdiri atas beragam usia dan profesi. Ada pula pelajar dari tingkat SD meski belum sebagai anggota resmi. Selain tunanetra dan low vision sejak lahir, ada juga yang diakibatkan kecelakaan dan penyakit.
Pelatihan demi pelatihan terus digelar. Tujuannya untuk memberi pembekalan kemampuan dan aktivitas. Bahkan juga dapat menghasilkan nilai ekonomi. Sehingga tunanetra dan low vision memiliki kemandirian secara ekonomi.
“Untuk yang masih pelajar dapat bantuan sosial dari orang tua asuh. Mahasiswa mendapatkan Rp 600 ribu per semester, jenjang SMA dapat Rp 450 ribu, SMP Rp 300 ribu dan SD dapat santunan Rp 240 ribu,” ujarnya. (dwi/laz/zl)