MEMASUKI 1740 perekonomian Batavia mengalami kelesuan. Kemerosotan perekonomian dan keuangan berimbas pada banyak sektor. Pembangunan infrastruktur yang sebelumnya digiatkan dihentikan sementara waktu. Para buruh sulit mendapatkan pekerjaan. Dampaknya, pengangguran meningkat secara tajam.

Kondisi itu diperparah dengan terus membanjirnya imigran dari Tiongkok. Ini semakin menambah besarnya angka pengangguran. Jumlah penduduk Tionghoa di Batavia juga semakin banyak. Hal ini ini mengkhawatirkan VOC.

VOC lantas membuat kebijakan baru. Orang-orang Tionghoa yang tinggal di Batavia lebih dari 10 tahun, tapi belum punya izin tetap diancam dideportasi. Mereka akan dikembalikan ke negeri asalnya. Razia terhadap imigran gelap Tionghoa juga dilakukan. Ada yang kemudian ditangkap. Lalu ditahan di penjara Kompeni.

Orang-orang Tionghoa bisa lepas setelah bersedia membayar uang sebagai jaminan penangguhan.

Sasaran VOC semakin luas. Korbannya bukan lagi imigran yang belum punya izin tetap. Melainkan mereka yang telah bermukim beberapa lama di Batavia. Kebijakan VOC itu dinilai sebagai bentuk pemerasan. Kebijakan VOC itu bermotif ekonomi. Masuknya uang dari orang-orang Tionghoa itu diharapkan dapat memperbaiki perekonomian.

Dampak dari kebijakan itu  membuat situasi politik Batavia memanas. Apalagi Dewan Hindia pada 25 Juli 1740 memerintahkan VOC menindak tegas seluruh warga Tionghoa. Jika diindikasikan melakukan tindakan tidak baik. Sebagian yang ditangkap ada yang dibuang ke Sri Lanka.

Krisis politik segera terjadi. Puncaknya muncul kerusuhan sosial. VOC melakukan perburuan dan pembunuhan masal terhadap orang-orang Tionghoa. Kejadian berlangsung pada 10 Oktober 1740. Warga Tionghoa pun melawan. Perlawanan itu dipimpin Kapiten Sepanjang.

Kerusuhan di Batavia yang dipicu perlawanan orang-orang Tionghoa sampai ke telinga Susuhunan Paku Buwono II. Awal mula mendengar orang Tionghoa melawan VOC, Paku Buwono II tak begitu peduli. Raja menilai itu sebagai pertikaian antarpedagang. Seandainya yang menang Tionghoa, mereka akan menggantikan kedudukan VOC. Namun, beberapa elite di Kartasura mendorong kemenangan Tionghoa atas VOC menjadi kenyataan.

Sunan lantas berhitung secara politik. Mampukah warga Tionghoa diajak kerja sama melawan VOC. Kuatkah aliansi Mataram-Tionghoa menghadapi tentara Kompeni. Segala hal itu berkecamuk dalam pikiran Paku Buwono II.

Raja Mataram itu mulai bercita-cita untuk lepas dari pengaruh VOC. Paku Buwono II ingin menjadikan VOC sebagai organisasi dagang di bawah Mataram. Kompeni tidak boleh punya kedaulatan. Harus tunduk di bawah Sunan.

Wilayah kerja VOC dibatasi. Sebatas bidang perdagangan. Campur tangan Kompeni yang terlalu dalam ke Istana Mataram sangat dibenci Paku Buwono II. Sunan tidak ingin VOC berperan sebagai penguasa.

Semua surat yang ditulis Sunan kepada VOC selalu didahului dengan kalimat, “Susuhunan Paku Buwono Senapati ing Ngalaga Abdulrahman Sayidin Panatagama di Mataram Kartasura Hadiningrat yang memiliki hak atas seluruh tanah Jawa.” Ini menunjukan pernyataan yang membanggakan. Berisikan kebesaran kekuasaan raja Mataram tersebut.

Di banyak kesempatan Paku Buwono II menegaskan dirinya seorang penguasa. Bukan pedagang. Sunan memegang prinsip sadumuk batuk sanyari bumi. Ungkapan Jawa ini bermakna kehormatan harus dijaga. Walau hanya seluas bumi/tanah milik negeri kita harus dipertahankan sekuat tenaga sampai titik darah penghabisan.

Bagi Sunan, siapa pun yang berdagang di Mataram asal tidak menganggu kewibawaan raja dianggap sebagai mitra.(yog/rg/bersambung)