Sampah plastik adalah masalah pelik bagi lingkungan. Popok sekali pakai turut menyumbang masalah itu. Di tangan Puji Heru Sulistiyono, popok bekas tak lagi jadi masalah.
JAUH HARI WAWAN S, Sleman
Praktis dan meringankan tugas orang tua. Mungkin itu yang ada di pikiran orang saat menggunakan popok sekali pakai. Untuk anak-anak mereka. Terutama yang masih bayi. Atau balita. Nyatanya itu justru menghadirkan masalah. Selain menyumbang pencemaran lingkungan. Juga bisa memicu timbulnya masalah kesehatan.
Riset Bank Dunia pada 2017 menunjukkan, popok bayi menjadi penyumbang terbesar sampah di laut. Sebesar 21 persen. “Masalah utama sampah memang plastik. Popok juga termasuk. Kami cari cara untuk mencoba memanfaatkannya,” ungkap Puji Heru Sulistiyono.
Meski menjadi masalah, bekas popok bayi sekali pakai ternyata bisa dimanfaatkan lagi. Sebagai media tanam. Bahkan sangat baik fungsinya. “Popok mudah menyerap dan tembus air,” ungkap sosok asal Berbah, Sleman, itu.
Pemanfaatannya tentu tidak asal-asalan. Tapi harus diolah dulu. Sebelum dibuat media tanam. Sebab, popok itu biasanya mengandung hidrogel. Berjenis sodium polyacrylate. Hidrogel berfungsi untuk menyerap urine dan mengurangi kelembaban kulit bayi. Bentuknya butiran kecil campur bulu. Mirip bubur. Butiran ini mampu menahan urine hingga 30 kali berat bubuk itu. Butiran itulah yang akan berubah menjadi gel saat terkena air. “Hidrogel itu harus dihilangkan dulu,” tutur alumnus Universitas Gadjah Mada 1983 itu.
Untuk proses itu pria 55 tahun tersebut menciptakan alat yang disebut reaktor cacing. Fungsinya sebagai sarana mengolah sampah. Baik organik dan anorganik. “Semua sampah bisa dimasukkan dalam reaktor tanpa harus dicacah atau dibelah. Ada kandungan plastik tidak masalah,” ungkapnya. Popok yang akan dijadikan media tanam tidak perlu dicuci. Langsung saja dimasukkan ke dalam reaktor. “Asalkan popok tidak dibungkus plastik, kandungan kimia dan kotoran di popok bisa terurai oleh cacing dan mikroorganisme lain,” jelasnya.
Sikulusnya dua tahap. Popok dengan sampah organik lain dimasukkan ke dalam reaktor. Sampah organik akan jadi kompos. Lalu tambahkan lagi sampah organik. Penambahan sampah organik ini yang akan menghilangkan gel dalam popok. Semua sampah organik akan diurai cacing. Sedangkan anorganik tetap utuh. Artinya, reaktor cacing juga berfungsi untuk memilah sampah. “Jadi popok itu tetap utuh,” katanya.
Reaktor cacing memanfaatkan ruang vertikal. Menggunakan sistem FIFO (First In First Out). Bahan makanan cacing dimasukkan dari atas. Panen cacing dan tanah kascing atau kompos dari kotoran cacing dari bawah alat yang bentuknya menyerupai tong itu.
Reaktor cacing bisa dibuat dengan bambu. Atau ban bekas. Cara merakitnya pun tidak sulit. Siapa pun bisa membautnya sendiri.
Alat ini hanya butuh dua langkah dalam pengoperasikannya. Yakni memadatkan sampah dari atas dan menyiramnya dengan air supaya lembab. Reaktor itu menerapkan sistem terbuka. Itu menyebabkan hewan pengurai lain ikut masuk. Itu akan mempercepat penguraian sampah. Namun, hewan pengurai selain cacing harus dikendalikan. Sebab, biasanya berupa larva yang tak diinginkan. Sejauh ini Puji belum menemukan cara untuk mengendalikan larva-larva itu.
Kendati demikian, ada kelebihan lain reaktor cacing. Karena tidak berbau. Tidak seperti tempat sampah pada umumnya. Bau harum itu muncul dari cacingnya. Biasa disebut cacing melati. “Beda dengan sampah yang diolah dengan bakteri. Akan mengeluarkan bau busuk dari proses fermentasi,” ujarnya.
Reaktor cacing, kata Puji, sebagaimana namanya juga bisa difungsikan untuk beternak cacing. Cacing ini bisa dimanfaatkan untuk obat, kosmetik, dan pakan burung. Jadi untungnya dobel. (har/yog/rg)